Wednesday, June 13, 2012

Mengobral Hukum Islam


Tulisan opini saya berjudul “Hukum Islam di Aceh” baru saja diterbitkan media lokal di Aceh. Opini saya menyorot tentang kepentingan politik dan agama berkenaan Hukum Jinayah. 

Jinayah merupakan bentuk dari verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara etimologi, jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah (Ma’luf,1945:88). Kata jinayah dalam istilah hukum adalah sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara` karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan dan akal.


Saya merasa opini itu cukup menampar muka  para politisi yang mendewakan syariat Islam di Aceh untuk kepentingan partai politik. Sebelum saya menulis opini tersebut, saya sempat membaca laporan berita di situs  http://www.voaindonesia.com/ edisi, 31 Juli 2011 dengan judul “Islam Seiring dengan Demokrasi, Namun Sering Disalahgunakan Demi Kepentingan Politik”. Saya merasa berita itu sangat menarik dan sangat mencerdaskan pembaca tentang kepentingan politik dibalik agama.

Dalam laporan itu ada mengutip pernyataan Dr. Laith Kubba – Direktur National Endowment for Democracy. Laith Kubba mengatakan, politisi menggunakan agama dan memobilisir opini publik untuk mengambil keuntungan secara politik dan finansial.

Sebenarnya berkenaan dengan isu syariat Islam bukanlah hal baru di Aceh. Nilai tawar syariat Islam bagi para politisi adalah amunisi ampuh merebut simpatik rakyat Aceh. Sejarah juga sudah pernah menorehkan tinda emas betapa ampuhnya isu syariat Islam membuat para politisi bertepuk dada menyakinkan para agamawan dan rakyat Aceh.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, presiden Soekarno pernah berjanji memberikan kewenangan Aceh untuk memberlakukan hukum Islam di Aceh yang tersohor dengan julukan Serambi Mekah. Ketika itu, presiden Soekarno meminta kepada Tgk. Daud Beureueh untuk membantu perang bersenjata antara Indonesia dengan Belanda. Tgk. Daud Beureueh akan meyanggupi permintaan Soekarno dengan dua syarat, yakni perang berlandaskan Fisabilillah, dan  Aceh diberikan kebebasan menjalankan syariat Islam nantinya.

Soekarno pun menyanggupi dua syarat tersebut. Saat itu, Tgk. Daud Beureueh meminta perjanjian ditulis dalam secarik kertas sebagai bukti untuk diperlihatkan kepada rakyat Aceh. Namun, Soekarno tidak menyanggupi permintaan hitam di atas putih dalam secarik kertas kepada Tgk. Daud Beureueh. Presiden Soekarno dengan menangis tersedu-sedu menyakinkan Tgk. Daud Beureueh tidak akan mengingkari janjinya kepada rakyat Aceh. Akhirnya selepas perang usai melawan Belanda, janji Soekarno tidak pernah diwujudkan di Aceh.

Tidak hanya itu, isu penerapan syariat Islam kembali mencuat dimasa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dus). Saat itu, Gus Dur berkomentar bahwa orang Aceh meminta Syariat Islam, bukan meminta kemerdekaan. Begitu juga pada masa kepemimpinan Megawati, menindak lanjuti Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan. Presiden Megawati mempertegas kembali dengan menandatangani lahirnya  Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Undang Undang tersebut mengatur tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah di  Aceh.

Sepintas jalan menuju pintu hukum Islam yang disutradarai oleh para politisi ketika itu, sejenak membuat rakyat Aceh lupa dengan isu kemerdekaan dan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia tetap berlanjut di Aceh, kenyamanan masyarakat masih saja terusik.

Pada masa damai Aceh, dan lahirnya lahirnya Undang Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006. Pasal sebelas undang-undang ini menjelaskan bahwa masyarakat Aceh diberi keleluasan dalam berserikat dengan membentuk partai lokal Aceh.

Sejumlah partai nasional dan partai lokal pun memeriahkan pesta demokrasi di Aceh. Tidak bisa ditampik, masa kampanye partai politik berlomba-lomba menghembuskan isu syariat Islam untuk merebut hati rakyat Aceh. Mungkin saja para politisi telah belajar dari sejarah para pendahulunya betapa ampuhnya janji hukum syariat Islam membuat rakyat Aceh luluh hatinya untuk memberi dukungan secara moral dan material.

Partai politik sebagai mesin politik akan selalu ada kepentingan menyelimutinya untuk mencapai tujuan kekuasaan, termasuk dengan mengambing hitamkan hukum Islam. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih antara kepentingan partai politik dan agama.

Buktinya, sejak Qanun Jinayah bergulir keranah publik pada tanggal 15 September 2009 silam, saat DPR Aceh mengesahkan qanun jinayah sebagai bagian dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pengesahan qanun itu telah menghindupkan perdebatan tentang formalisasi syariat (hukum) di Aceh. Selain itu, antara legeslatif selaku pembuat Undang Undang, dan eksekutif sebagai pelaksananya masih berbeda pendapat.

Perbedaan pendapat antara legeslatif dan eksekutif cukup memberi isyarat bahwa pelaksanaa syariat Islam di Aceh sarat dengan kepentingan-kepentingan elit politik. Tidak hanya itu, penegakkan syariat Islam pun jauh dari perspektif keadilan. Ketika masyarakat biasa terjerat perkara Jinayah, sorotan hukum Islam ditimpakan kepada mereka. Namun, ketika para elit politik atau orang-orang yang dekat dengan kekuasaan terjerat perkara Jinayah, hukum Islam menjadi “kabur”.

Syariat Islam bukanlah nilai tawar para elit politik. Maka marilah kita sama-sama menentang para politisi mengobral Agama untuk kepentingan politik


Sumber foto di sini






Friday, June 8, 2012

Sandal Jepit untuk Mak


Serambi Indonesia, Minggu 27 Mei 2012


Adal nama anak malang itu. Gelisah. Dia berdiri dengan pose kaku seperti patung duka cita. Lingkaran hitam mengatung di bawah kelopak mata. Keringat meleleh bak mentega mencair. Roman wajahnya kelihatan sangat pucat. Tubuhnya kecil. Kurus. Kulit hitam mengkilap. Rambut keriting. Dia tuna wicara. Pagi itu, selembar layar raksasa terpampang di muka Gedung Pengadilan. Beberapa orang wartawan mondar-mandir meliput persidangan Adal. Kilatan kamera leluasa menyambar mukanya. Memantul cahaya dari bola mata.

Laki-laki, perempuan, tua-muda, ibu-ibu mengendong anak, berdesak-desakan di ruang pengadilan. Sebentar kemudian, penuntut umum menyodorkan barang bukti dan menyampaikan dakwaan untuk Adal  kepada Hakim. Adal tak bisa berkata sepatah katapun untuk membela diri. Hanya terdiam. Tiba-tiba dia menengok ke belakang menatap tajam ke arah Limah. 

Limah adalah orang tua Adal. Dia pemulung. Berusaha tegar menatap buah hatinya berdiri polos di hadapan Para Hakim. 

Dia tidak memakai kain berbahan sutra, melainkan gaun pendek lusuh dengan kancing tak tertutup semua yang dipungut dari tong sampah. Baju kumuhnya sangat kontras dengan orang-orang yang ingin melihat persidangan  Adal. Anak malang itu didakwa telah mencuri sepasang sandal jepit. Dia terancam mendapat kurungan penjara selama lima tahun.

Limah menghela nafas panjang mendengar putusan Pengadilan. Adal telah terbukti bersalah. Seketika tangis Limah pecah. Dia mengiba keadilan untuk buah hatinya itu.

 “Dimana keadilan untuk anakku?” teriak Limah dengan suara serak. “Anakku tak ada niat sekalipun mencuri sandal kumal itu,” ujarnya lagi. Batinnya tak kuasa melihat tubuh mungil buah hatinya dibungkam jeruji besi. Dia masih terlalu kecil menerima hukum seberat itu. Umur Adal baru beranjak 12 tahun.

*****

Suami Limah telah tiada ketika Adal masih dalam kandungan. Setahun kemudian kesedihannya makin menjadi-jadi ketika desa mereka diterjang gelombang raya. Semua jasad keluarga Limah tak pernah ditemukan. Air gelombang telah menggulung dan menghanyutkan mereka entah ke mana.

Rumah peninggalan mendiang suaminya kini telah tenggelam dalam hamparan samudera. Satu-satunya harta yang tersisa hanya sehelai kain yang melekat di tubuh Limah dan Adal.  Limah  kemudian  jadi pemulung. 

Adal pun putus sekolah. Dia cuma belajar baca tulis sampai kelas lima sekolah dasar.

Sekarang mereka hanya mampu membangun sebuah gubuk di atas lahan milik pemerintahan kota. Lapak  gubuk tidak  jauh dari tempat pembuangan akhir.

Gubuk mereka berlantai tanah dan tampak nyaris roboh. Ibarat pakaian, usang dan penuh tambalan. Tempat tidur kayu tanpa kasur merapat ke salah satu dinding. Tak ada kursi dan meja. Lantai dilapisi plastik hitam. Langit-langit juga berlapis plastik biru-hitam. Bila musim hujan, lantai gubuk tergenang air dan berlumpur. Gundukan sampah plastik dan kaleng-kaleng bekas berada di muka gubuk mereka. Bau busuk menyengat hidung.

***

Tiga minggu sebelum Adal diperkarakan, dia memberikan kado sepasang sandal jepit kumal untuk Limah. Tali sandal pun hampir putus, tinggal menghitung hari sandal itu akan berakhir riwayatnya. Tapi sebelum itu terjadi,  Adal memungut sandal itu dari luar pagar perkarangan rumah seseorang yang tak ia kenal.
Hatinya sangat girang. Dia bergegas mencari koran bekas dan kardus kecil dalam tong sampah. Membalut sandal jepit kumal itu menjadi sebuah kado. Lalu,  dia menulis “Kado Adal, Untuk Mak”.

Menjelang malam Adal berlari pelan. Sebelah tangannya memegang kado. Dia  mengikuti jalan setapak menuju gubuknya.Ibunya pun bangun dari tidurnya.   “Apa itu Adal?”  Dia hanya mengapit kedua jari telunjuk dan jari jempol membentuk simbol “love”. Kemudian memberikan kado itu untuk Maknya. Tiba-tiba mata Limah berkaca-kaca, memantulkan bayangan Adal. Perasaan terharu berkecamuk dalam benaknya.

 “Mak sayang kamu,” ucapnya sambil membelai lembut rambut Adal. Jari-jari Adal  menyeka air matanya. Sesekali mengembang senyum di bibirnya. Limah tak bisa berkata-kata lagi. Memeluk. Mencium kening Adal. Sebentar kemudian Limah membuka kado itu pelan-pelan. Isinya sepasang sandal jepit. Dia makin menangis tersedu.

Adal langsung membantu mengenakan sandal jepit itu.  Borok masih membekas di telapak kaki Limah.  “Adal. Mak tahu, kamu pasti tak tega melihat telapak kaki Mak terluka lagi,” kata Limah dengan mata berkaca-kaca. Adal cuma menganggukkan kepala.

***

Pernah suatu ketika, mata hari sangat terik. Hembusan panas terasa memanggang jalan beraspal. Limah bertelanjang kaki menyelesuri sudut-sudut kota. Merangkul karung goni di pundaknya. mata yang awas mengintai setiap jalan yang dilewati. 

Menghentikan langkah sejenak memungut kaleng, kardus bahkan kertas yang tak lagi terpakai. Lalu kakinya kembali menyapa sudut-sudut kota.

Menjelang magrib seraya memegang kayu penyangga, ia berjalan tertatih-tatih kembali ke gubuknya. Telapak kakinya melepuh seperti terbakar. Ada luka menganga juga.

Lantas Adal bergegas berlari ke arah Limah. Merangkulnya. Tubuh mungil itu menjadi penyangga untuknya. Dia membilas luka Limah dengan air. Memandang muka maknya yang menahan rasa perih.

Keheningan malampun mulai menyergap. Adal tak memejamkan mata. Batinnya merasa terluka malam itu. Ia tak kuasa melihat penderitaan Maknya.

Sejak kejadian itulah, anak laki-laki tersebut tiap kali melihat sandal , ia segera memungutnya. 

Di pagi buta tangan kecil pucat itu memungut sandal jepit kumal yang dikiranya tak bertuan. Dia malah dituduh mencuri. Sekarang nasib Adal harus senyap di balik jeruji besi. Melawan dingin dan rasa rindu untuk Mak tercinta.

Wednesday, January 25, 2012

Namaku Jufrizal, di Cina jadi Fujia

Situs berita www.serambinews.com,  Minggu, 1 Januari 2012 19:21 WIB


PERTENGAHAN September 2011, pertama kali saya mengikuti ujian kemampuan dasar bahasa mandarin di Nanchang University, saya hanya bisa menghela nafas panjang seperti menghirup udara di ruang hampa. Hal serupa juga dirasakan oleh tiga teman saya dari Aceh waktu itu. 

Sore itu, di ruangan kelas berkumpul mahasiswa internasional penerima beasiswa dari pemerintahan Cina sedang serius mengerjakan soal ujian kemampuan dasar bahasa mandarin. Saya hanya bisa tersenyum lebar melihat lembaran soal. Semua soal ditulis dengan menggunakan bahasa Hanzi (bahasa simbol), tak ada huruf abjad satupun di lembaran soal.

Hasil ujian ini menentukan kami untuk mengisi kelas-kelas belajar bahasa mandarin selama satu tahun di Nanchang University. Ada empat tingkatan kelas bahasa diperuntukkan bagi mahasiswa asing. Dari sekian banyak penerima beasiswa mahasiswa internasional, hanya dari Aceh sejak awal belum pernah mendapatkan pendidikan dasar bahasa mandarin. Dan akhirnya kami ditempatkan di kelas dasar.

Di kelas dasar, ada juga dari teman Semarang dan Makasar serta negara lainnya. Seorang teman dari Makasar mengatakan pada saya, pemerintahan daerahnya sangat merespons positif dengan keberadaan lembaga pendidikan bahasa mandarin. Di kampus mereka saja ada lembaga bahasa mandarin. Selain itu, ada sebagian sekolah-sekolah di Makasar ada mata pelajaran pendidikan bahasa mandarin.

Mendengar penjelasan dia, memberikan pemahaman dalam benak saya. Kalau dipikir-pikir, Aceh sangat tertinggal dalam dunia pendidikan. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi di Aceh.

Saya dan ke tiga teman saya pun lulus seleksi beasiswa dari pemerintahan Cina setelah mengikuti seleksi dari pemerintahan Cina dan berkat rekomendasi dari Pembantu Dekan IV Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Abdul Rani Usman. Dia juga Ketua Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin-Aceh (BKPBM-Aceh).

Setelah tiba di Cina, saya baru tahu ternyata pemerintahan Cina sangat merespons dan memberikan apresiasi positif kepada lembaga pendidikan di luar negeri yang memiliki tujuan memperkenalkan budaya dan bahasa mandarin di negaranya.

Siang itu, Kamis 29 Desember 2011, saya baru saja mengikuti ujian semester kuliah bahasa mandarin. Pada ujian kali ini, saya tak mematung seperti patung duka cita saat ujian pertama kali penentuan kelas bahasa mandarin. Sebagian soal dalam huruf hanzi, sudah saya pahami, ya walaupun masih banyak kekurangan.

Pada suatu ketika ujian chinese character ada kejadian lucu terjadi di kelas. Saya lupa-lupa ingat bagaimana tulisan nama saya sendiri dengan huruf hanzi. Seketika itu saya bergegas maju ke depan mengambil kartu mahasiswa di dalam tas. Ya setiba di Cina semua mahasiswa internasional diharuskan memiliki nama Cina. Nama Cina saya adalah Fujia.

“Fujia, untuk apa kamu mengambil kartu mahasiswamu di dalam tas,” ujar Mrs. Wang. Dia adalah pengasuh mata kuliah chinese character, dan juga Pembimbing Akademik (PA) saya di Nanchang University.

“Laoshi, saya lupa bagaimana tulisan nama saya sendiri,” jawab saya polos.

Seketika, suasana serius mengerjakan soal ujian menjadi pecah dengan gelak tawa dari teman-teman saya  di kelas siang itu. Maklum saja, tuk bisa menulis dan membaca dalam bahasa mandarin bagi pemula harus bisa mengingat 3.000 karakter huruf hanzi. Dan ini bukan perkara mudah, selain itu banyak aturan intonasi pengucapannya lagi. 

Salah-salah intonasi pengucapan, bisa salah makna dari kata-kata yang kita ucapkan nantinya. Tapi saya yakin, sesulit apapun tantangan yang saya alami pasti ada hikmat dipenghujung nantinya. 

Hikayat Punker


“Aku bukan penjahat, aku Punker”. Sangat wajar rasanya kalimat pembuka opini saya tulis seperti itu. Mengingat maraknya pemberitaan media cetak dan online di Aceh maupun nasional tentang penangkapan dan pembubaran konser amal bertajuk “Aceh for Punk” di Taman Budaya, Banda Aceh (10/12). Para Punker digelandang ke Mapolresta Banda Aceh, sebelum akhirnya dikarantina di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar untuk menjalani “pembinaan”.

Foto-foto anak-anak Punk yang sedang dilakukan pembinaan moralnya di SPN Seulawah terpampang jelas di media. Sebagai alasan pembinaan, rambut gaya Mohawk indentitas para anak Punk dipotong oleh pihak kepolisian di muka umum, dan para Punker juga dimandikan di kolam secara berjamaah.

Melihat fenomena pembinaan moral anak bangsa seperti itu, menarik untuk dibicarakan. Saya yakin apapun alasan untuk dijadikan pembenaran tindakan pembinaan seperti itu akan mengundang perang opini dikalangan masyarakat. Terlepas dari pro-kontra, saya tak bermaksud membela anak-anak Punk bahkan menghujat aksi penangkapan yang dilakukan pihak penegak hukum (polisi). Saya hanya sekedar bersuara lewat tinta berkaitan fenomena pembinaan anak Punk dari sudut pandang interest (sisi kemanusian) semata.

Dilihat dari sejarah, akar kelahiran komunitas Punk  dimulai di Inggris. Punk sendiri adalah gerakan anak muda yang dipelopori oleh kaum tertindas dari kelas pekerja, gerakan ini muncul dari ketidak puasan anak muda terhadap kehidupan bernegara. Pada tahun 1980-an gerakan  Punk akhirnya juga merambah anak-anak muda di Amerika yang sedang mengalami masalah ekonomi dan keuangan. Masalah ini dipicu oleh kemerosatan moral para tokoh politik atau penguasa sehingga berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakat Amerika ketika itu.

Punk juga bisa dikatakan sebagai ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik, namun Punk juga dapat berarti jenis musik atau gendre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punker  di Amerika mengkritisi para tokoh politik atau penguasa lewat lagu dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar dan sarat dengan kritik sosial. Cara seperti itulah para Punker Amerika melakukan pembinaan moral kepada politikus atau penguasa di negaranya.

Dewasa ini banyak orang mengira tingkah laku seperti potongan rambut Mohawk atau diwarnai dengan warna terang, memakai sepatu boots, rantai, jaket kulit, celana jeans dan baju lusuh,  anti kemapaman, anti sosial, kaum perusuh, pemabuk, pelaku kriminal kelas rendahan, bahkan disebut sebagai penyakit sosial adalah layak disebut sebagai Punker. Menurut hemat saya ini adalah pandangan yang keliru, Punk sebenarnya dapat diartikan sebagai sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves (kita dapat melakukannya sendiri), keyakinan ini menuntut anak Punk untuk belajar berusaha mandiri dan berusaha lebih dewasa saat menghadapi krisis ekonomi.

Berbicara dengan penyakit sosial dan kerusakan moral, sebenarnya penyakit ini buta dengan namanya suku, agama, dan antargolongan. Virus ini dapat merusak siapapun, termasuk penguasa, penegak hukum, pelaku pendidikan, dan bahkan kita sendiri juga tak akan mampu menjamin lepas dari wabah kerusakan moral ini.

Bukti  kerusakan moral dapat melanda siapa saja sudah sering kita dengar dari pemberitaan di media-media. Adakah anda menonton atau membaca berita tentang para penguasa yang tamak (korup) di negeri ini? Saat penegak hukum menggadaikan keadilan untuk kepentingan pribadi, bahkan pemberitaan tentang kerusakan moral di dunia pendidikan, ketika seorang pendidik yang seharusnya menjadi panutan malah melakukan tindakan asusila. Itulah segelintir bukti wabah kerusakan moral dapat menghantui siapa saja.

Kembali ke fenomena “pembinaan” anak-anak Punk di SPN Seulawah, sungguh tak arif metode pembinaan ala militer disuguhkan untuk mereka. Ya, walaupun ada metode pendekatan spiritual dalam pembinaan moral anak-anak Punk itu.

Namun dikaji dari perspektif keadilan dan kemanusian tak sepatutnya anak-anak Punk sebagai kaum minoritas disuguhkan pembinaan moral seperti itu. Bukankah penyakit moral bisa melanda siapa saja? Pembinaan seperti itu malah akan melukai nilai-nilai kemanusian. Metode pembinaan ala militer untuk anak-anak Punk mengingatkan saya ketika Aceh masih dalam keadaan konflik. Malahan pembinaan tak terkontrol oleh lembaga sipil akan meninggalkan rasa trauma psikologis nantinya bagi anak-anak Punk.
Semestinya, jika anak-anak Punk terbukti melakukan tindakan pidana atau kriminal tak seharusnya mereka dicap secara kesuluran sebagai komunitas yang patut ditindak dan dihukum. Bukankah tindakan hukum itu dilihat dari pelakunya secara personalitas (individu). Lagi-lagi negeri kita berlaku tak adil terhadap kaum minoritas.

Mungkin ini cerita konyol dan lucu saat seorang dari kaum mayoritas yang memiliki kekuasaan dilanda permasalahan hukum. Mereka beramai-ramai melakukaan pembelaan dengan cerita-cerita dongeng terhadap kaumnya di media. Tapi saat dia benar-benar menjadi terdakwa di mata hukum, hanya kalimat penyejuk “itu oknum yang melakukannya” terlontar dari mulut kaum mayoritas dipemberitaan keesokannya.

Bisa saja kegiatan amal bertajuk “Aceh for Punk” sebagai protes nyata komunitas Punk terhadap kebijakan demokrasi yang tak memihak kepada masyarakat tertindas ekonominya. Mereka ingin memberikan bukti, bahwa mereka punya rasa sosial dan simpatik terhadap permasalahan anak-anak yatim piatu di panti asuhan. Semestinya sindiran halus yang berakhir di “penjara pembinaan” dapat menyadarkan penguasa yang selalu mendewakan sistem demokrasi di negeri ini. Bukankah dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Jika kita masih saja menutup mata dengan rasa keadilan,  kemerosatan moral akan tetap melanda 

Wednesday, August 24, 2011

Hikayat Inong Keude Kupi (Catatan untuk Azwardi)

Serambi Indonesia, 30 April 2011

SANGAT tidak arif ketika saya membaca opini Azwardi (Serambi Indonesia, 27/04/211) dengan judul “Inong Bak Keude Kupi”. Azwardi beranggapan perangai kaum inong bak keude kupi telah mencederai spririt Kartini, seorang pahlawan perempuan yang diagung-agungkan di pulau Jawa.



Tak hanya itu, Azwardi melihat fenomena inong bak keude kupi hanya dari sudut negatifnya saja, dengan memberikan logika cerita sekelompok anak muda yang terdiri atas beberapa orang lelaki dan beberapa orang perempuan yang larut dengan suasana kebersamaan, dan menyandarkan dadanya di tepian meja serta merentangkan tangan ke bidang meja tanpa menghiraukan orang-orang sekelilingannya.

Dan sungguhlah tak arif dengan melihat fenomena itu, Azwardi memberikan kesimpulan bahwa kaum inong Aceh yang sering meluangkan waktu ke keude kupi (secara keseluruhan) telah lupa diri dengan nilai-nilai adat dan kebiasaan masyarakat Aceh dan nilai-nilai keislaman, dan bahkan menebarkan aib bagi keluarga yang bersangkutan

Menurut hemat saya, pergeseran adat kebiasaan dan nilai keislaman tidak semata-mata karena pengaruh kultur budaya dari luar, apalagi dengan menyalahkan pegiat-pegiat Non-goverment Organization (NGO) asing, pergeseran ini terjadi dalam diri pribadi manusia itu sendiri, manusia telah dianugerahkan akal dan pikiran untuk bisa menentukan secara bijak pola pikirannya yang sesuai dengan adat kebiasaan dan nilai ajaran islam masyarakat Aceh.

Teman-teman perempuan saya berdiskusi panjang lebar tentang opini tersebut di jejaring sosial facebook, mereka merasa terzalimi membaca opini yang provokatif itu. Mereka berpendapat, melihat suatu fenomena harus menserasikan antara keadaan positif dan negatif. Apalagi ini berkaitan dengan spirit perempuan. Mungkin saudara Azwardi tidak pernah melihat atau bahkan menutup mata saat ada sekelompok lelaki dan perempuan yang menjadikan warung kopi itu sebagai sarana informatif yang sangat murah mengakses layanan internet untuk keperluan pendidikan. Tidak hanya itu, warung kopi di Aceh juga menyediakan ruangan khusus sebagai musalla, dan ini sebagai wujud kesadaran pemilik warung kopi menjaga adat istiadat dan nilai-nilai ajaran islam di Aceh. Hal ini jarang kita temukan di warung kopi atau cafe di luar Aceh.

Lebih mirisnya lagi saudara Azwardi mencibir inong keude kupi dengan ucapan, “nyan inong cot; inong peukanjai bansa; nyan hana lam kamuh inong Aceh”, entah dari mana sumber kebenarannya yang menyebutkan perempuan warung kopi adalah sosok perempuan yang menjatuhkan martabat suatu bangsa. Tak hanya itu, saudara Azwardi kembali menguatkan argumennya dengan termilogi adat Aceh, perempuan itu adalah purumoh (orang rumah) yang secara kontektual aktifitas perempuan dibatasi.

Pandangan Azwardi tentang perempuan sebagai “purumoh” sangat bertolak belakang dengan spirit Cut Nyak Dhien. Walaupun Cut Nyak Dhien berasal dari keluarga bangsawan yang taat beragama, dia menghabiskan masa hidupnya bergerilya ke hutan-hutan melawan penjajah Belanda. Beda halnya dengan Raden Adjeng Kartini, seorang perempuan dari kalangan priayi atau kelas bangsawan Jawa yang menghabiskan sisa hidupnya di kraton.

Sejarah juga mencatat, salah satu alasan Cut Nyak Ddien menerima lamaran Teuku Umar, lantaran Cut Nyak Dhien mempersilakannya untuk ikut serta bertempur di medan perang melawan Belanda ketika itu. ikut sertanya Cut Nyak Dhien selaku perempuan dalam pertempuran  membuat moral semangat pejuang Aceh semakin mengalir. Dan lewat sejarah inilah telah membuktikan keberadaan kaum perempuan Aceh bukanlah sebagai “purumoh” yang ditafsirkan selama ini.

Kembali ke Inong keude Kupi yang disebut-sebut kaum yang melawan kodratnya sebagai perempuan. Terlalu taklib jika kita menuduhnya seperti itu. Menurut para teolog Islam kodrat definisikan secara umum berasal dari kata qâdir yakni, apabila berkehendak, akan berbuat sesuatu dan apabila berkehendak, akan meninggalkannya.

Kodrat merupakan salah satu sifat yang bisa kita temukan dalam diri kita sendiri pada tingkatan terbatas. Kita tidak menyadari pada dasarnya kodrat itu muncul dari naluri manusia itu sendiri. Apa saja naluri itu? naluri itu sama hal yang telah dicontohkan oleh saudara Azwardi ketika ada inong keude kupi yang menjejerkan bahunya, nimbrung, mejeng, kongkow, ketawa-ketawa, dan ngakak. Dan apakah naluri ini tidak dimiliki oleh agam keude kupi? Tak sewajarnya jika kita cuma menyalahkan inong keude kupi saja, bukankah inong dan agam keude kopi sama-sama dianugerah naluri manusia oleh Allah SWT. Lihatlah kekurangan dan kelebihan seseorang itu sebagai pengalaman hidup, dan tidak ada makluk yang sempurna di dunia ini diciptakan oleh Allah dengan kodrat-Nya.



Jalur Independen

Aceh Feature, 3 Januari 2011

Mahkamah Konstitusi menetapkan calon independen berhak ikut serta dalam Pilkada Aceh tahun ini, mengakhiri debat dan aksi pro-kontra di kalangan politisi dan partai-partai di Aceh.


KURSI-kursi masih kosong di ruangan itu. Di atas meja berserak koran-koran. Safaruddin, pengurus Partai Suara Independen Rakyat Aceh atau Partai SIRA, menyambut tamunya.  Sikapnya jauh dari kesan kaku. Kadangkala dia melontarkan gurauan. Pakaiannya pun bergaya santai. Dia mengenakan setelan kemeja putih bergaris merah dan celana jins. Ada bekas cukuran di dagunya, yang kalau rambut di daerah itu dibiarkan tumbuh bisa membuatnya brewok dan lebih angker.

Dulu Safaruddin aktivis mahasiswa dan ikut organisasi mahasiswa yang juga bernama SIRA, dengan kepanjangan berbeda: Sentral Informasi Referendum Aceh.  Kesepakatan pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Agustus 2005 di Helsinki telah melahirkan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 tentang pembentukan partai lokal dan membuat SIRA menjelma partai politik pada pertengahan Desember 2007 lalu. Safaruddin pun berubah predikatnya, dari aktivis mahasiswa ke politikus partai.  Selain itu, dia juga seorang pengacara.

Namun, ada pasal dalam UUPA yang membuat orang-orang politik dan memahami hukum seperti Safaruddin khawatir dan protes.

“Ini terkait dengan pasal 256,” katanya.

Pasal tersebut menyatakan bahwa calon perorangan  atau independen hanya berlaku sekali saja sejak UUPA ditetapkan. Padahal Safaruddin ingin agar calon independen dibolehkan ikut pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Aceh pada 2011.

Dia lantas ikut serta dalam sidang pengajuan judicial review  atau tinjauan pengadilan tentang jalur independen atau perorangan ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

“Karena negara menjamin hak warga negaranya secara konstitusional, dan UUPA pasal 256 merugikan hak konstitusional dan juga bertentangan dengan UUD 1945,” ujarnya, merujuk pada undang-undang yang lebih tinggi.

Lagipula dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah tercantum tentang jalur independen atau perorangan ini.

“Tapi sekarang ada sebagian orang menolak jalur independen untuk Pilkada 2011 mendatang. Jadi kita menuntut keadilan agar jalur independen ini dapat terwujud kembali,” ujar Safaruddin.

Pada Pilkada 11 Desember 2006 silam, Komisi Independen Pemilihan-Aceh atau disingkat KIP Aceh menetapkan delapan calon gubernur dan calon wakil gubernur Aceh. Pasangan ini ada yang berasal dari partai politik dan gabungan partai politik, dan juga dari jalur independen.

Ada lima pasangan calon dari partai atau gabungan partai politik: Iskandar Hoesin-Muhammad Saleh Manaf  (Partai Bulan Bintang), Tamlicha Ali-Harmen Nuriqmar (Partai Bulan Reformasi- Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia-Partai Kebangkitan Bangsa), Malik Raden-Sayed Fuad Zakaria (Partai Golkar-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan-Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia), Humam Hamid-Hasbi Abdullah (Partai Persatuan Pembangunan), dan Azwar Abubakar-Nasir Djamil (Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera).

Tiga pasangan dari jalur independen, masing-masing  Djali Yusuf-Syauqas Ramatillah, Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar dan Ghazali Abbas Adnan- Salahuddin Alfata.

Bersama Muhammad Nazar pasangannya, Irwandi Yusuf berhasil mengalahkan tujuh pasang kandidat lain. Mereka pun jadi duet gubernur dan wakil gubernur Aceh periode 2006-2011.

Pasangan ini memperoleh suara sebanyak 768.745 atau 38,20 persen dari semua suara sah yang berjumlah 2.012.370. Menurut aturan KIP, pasangan yang memperoleh suara 25 persen atau lebih dari jumlah suara sah dapat ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Walaupun Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar mencalonkan diri lewat jalur independen, tapi mereka didukung GAM dan SIRA sampai akhirnya kedua organisasi itu menjelma sebagai partai-partai politik lokal yang berbeda. Orang-orang GAM kemudian membentuk Partai Aceh atau sering disingkat PA. Aktivis SIRA mendirikan Partai SIRA.


DI sudut Simpang Ulee Kareng, Banda Aceh ada kedai kopi Solong yang ramai. Banyak orang berbincang-bincang sambil makan dan minum di situ. Suasana gaduh dan gelak tawa sesekali terdengar.

Saya menunggu kedatangan Rahmat Djailani. Tak berapa lama dia muncul.
Rahmat mengenakan jaket katun dan celana jins, bertubuh agak gemuk. Rambutnya bergaya prajurit. Suaranya keras, yang sangat cocok untuk menyaingi kegaduhan dalam kedai ini. Sesekali telepon selulernya berbunyi.

Rahmat adalah salah satu pengurus Partai Rakyat Aceh atau PRA. Partai ini didirikan sejumlah aktivis Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh pada 2 Maret 2006. Front tersebut merupakan pengembangan dari Solidaritas Mahasiswa untuk Aceh atau SMUR, organisasi mahasiswa prodemokrasi di Aceh masa konflik.

Dia juga sekretaris Kaukus Partai Politik untuk Demokrasi. Organisasi ini terdiri dari partai-partai politik yang mendukung terwujudnya jalur independen di Aceh. Ada 14 partai politik yang bergabung, yang terdiri dari lima partai lokal (PRA, SIRA, Partai Daulat Aceh, Partai Bersatu Aceh dan Partai Aceh Aman Sejahtera) dan sembilan partai nasional (Partai Amanat Nasional,  Partai Gerakan Indonesia Raya alias Gerindra, Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura, Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Bulan Bintang, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Golkar dan Partai Demokrat).

“Jika jalur independen tidak diperbolehkan di Aceh, itu bentuk diskriminasi baru untuk demokrasi Aceh. Secara politik ada pihak yang tidak setuju dengan jalur independen,” ujar Rahmat.

Pihak manakah yang tidak setuju?

Menurut Rahmat, pihak yang tidak menghendaki kembalinya jalur independen adalah kalangan Partai Aceh atau PA, partai yang dibentuk para mantan GAM. PA bahkan menyampaikan keberatannya secara terbuka lewat media-media lokal di Aceh.

Menurut Ahmad Farhan Hamid, kemungkinan besar jalur independen akan disetujui  Mahkamah Konstitusi. Tapi tidak untuk Pilkada 2011. “Mungkin untuk Pilkada lima tahun mendatang,” katanya. Farhan adalah wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia. Dia menyatakan hal ini ketika kami bertemu di satu seminar belum lama ini.

Kalau pendapat Farhan ketika itu bernada lebih optimistis, Tengku Adnan Beuransyah justru berteguh pada apa yang ditetapkan dalam pasal 256 UUPA. Adnan adalah juru bicara PA dan Ketua Komisi A bidang pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

PA merupakan partai pemenang pemilihan umum legislatif pada 9 April 2009 silam, yang mengalahkan partai-partai nasional dan lima partai politik lokal lain. Tidak hanya itu. Partai-partai lokal lain bahkan tak bisa lagi ikut serta dalam pemilihan umum selanjutnya di Aceh akibat perolehan suara mereka yang berada di bawah lima persen.

Jalur independen atau perorangan sesungguhnya menjadi cara yang demokratis untuk melibatkan calon-calon yang tak berasal dari partai atau yang partainya gagal memenuhi kuota suara tadi. Agar demokrasi tetap berlangsung.

Tapi ada juga yang khawatir menyaksikan keterlibatan partai-partai nasional yang sudah lebih berpengalaman dalam politik dan agenda-agendanya ini dan minimnya pengalaman partai-partai lokal. Jangan-jangan aspirasi rakyat Aceh akan makin sayup dalam riuh kepentingan-kepentingan lain.

Menurut Adnan,  soal jalur independen harus merujuk pada UUPA, yang menyebutkan kesempatan itu cuma diberikan sekali saja dalam Pilkada Aceh. Lagipula, menurut dia,  belum ada partai lokal di Aceh waktu Pilkada 2006. Adnan menganggap aturan tersebut sudah sesuai dengan Perjanjian Helsinki, perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan GAM. Padahal dalam poin 1.2.2 Perjanjian Helsinki justru tertera ketentuan tentang calon independen: “Rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.”

Namun, seluruh pendapat pro dan kontra tersebut berakhir pada minggu lalu, 30 Desember 2010. Mahkamah Konstitusi di Jakarta mengabulkan permohonan para pendukung jalur independen untuk Pilkada 2011 di Aceh.

Menurut penjelasan Mahkamah Konstitusi, tindakan menentang calon independen bertentang dengan UUD 1945. Keputusan Mahkamah Konstitusi juga sesuai dengan keputusan lembaga ini pada 2007 yang mengakui dan membolehkan calon perorangan atau independen ikut berlaga dalam Pilkada. Ketentuan ini juga berlaku tak hanya untuk Aceh, tapi provinsi lain di Indonesia.




Soeharto dan Aceh

 Aceh Feature, 20 September 2010

Koran berserakan di meja. Saya baru saja membaca laporan tentang mendiang presiden Soeharto masuk daftar sepuluh tokoh nasional yang diajukan Kementerian Sosial untuk memperoleh gelar pahlawan nasional kepada Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa.

Kesepuluh tokoh tersebut adalah mantan gubernur Jakarta, Ali Sadikin dari Jawa Barat, Habib Sayid Al Jufrie dari Sulawesi Tengah, mantan presiden  Soeharto dari Jawa Tengah, mantan presiden Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur, Andi Depu dari Sulawesi Barat, Johannes Leimena dari Maluku, Abraham Dimara dari Papua, Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan, Pakubuwono X dari Jawa Tengah, dan Sanusi dari Jawa Barat.

Situs resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa gelar pahlawan nasional adalahgelar yang diberikan pemerintah Indonesia kepada warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara.

Masuknya usulan nama Soeharto sebagai satu dari 10 calon pahlawan nasional menuai kontroversi di masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan orang Aceh.

JUMPA pers yang diorganisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (Kontras Aceh) berlangsung di satu kedai kopi Banda Aceh pagi itu.  Komponen Masyarakat Sipil Aceh (KMSA) yang terdiri dari 82 organisasi akan melangsungkan tanya jawab dengan wartawan di sini.  KMSA meliputi lembaga sosial masyarakat, organisasi mahasiswa, partai politik dan media.

Tema acara kali ini, "Untuk Keadilan, Tolak Soeharto sebagai Pahlawan". Moderator acara adalah Hendra Fadli, koordinator Kontras Aceh.

Dari kejauhan saya melihat Ghazali Abbas. Dia mantan anggota parlemen Jakarta dan mantan anggota Dewan Pencari Fakta (DPF) Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh.

Dia juga pendiri Partai Aceh Aman Seujahtra (PAAS), salah satu partai lokal Aceh.


PAAS dan partai lokal lain yang ada di Aceh lahir sebagai salah satu poin kesepakatan pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam Perjanjian Helsinki.


"Jumpa pers akan kita mulai, para undangan silakan masuk dalam ruangan," ujar Hendra.

Kursi telah diatur rapi. Ruangan mulai sesak. Beberapa orang tampak mengenakan topeng wajah Soeharto.

Hendra memberi Gazali Abbas kesempatan pertama untuk bicara, yang lantas mengenang kembali perannya saat jadi anggota DPF-DOM Aceh.

"Setelah mendengar laporan langsung dari masyarakat Aceh dan melakukan investigasi ke lapangan, ditemukan kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia). Dari investigasi itu kita paripurnakan ke DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan hasil rapat paripurna kita mendesak pemerintah untuk mencabut status Aceh dari DOM," cerita Ghazali, menggebu-gebu.

Saat melakukan kunjungan itulah Ghazali menganggap ada usaha pembantaian etnis sejak pemberlakuan DOM, dan presiden Soeharto bertanggung jawab atas tragedi kemanusian ini. Selain itu, Ibrahim Hasan, gubernur Aceh di masa tersebut, ikut pula bertanggung jawab.

Setelah Gazali, giliran Azriana memberi pendapatnya tentang Soeharto. Azriana adalah Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK). Dia berkaca minus, bicaranya teratur dan jelas.

RPUK berdiri pada 2 Juni 1999 dengan tujuan membela hak perempuan dan anak-anak di pengungsian dan pasca pengungsian.

Pada 1999, di Aceh marak dengan aksi pengungsian akibat konflik bersenjata Tentara Nasional Indonenesia (TNI) dan GAM. Warga desa mengungsi ke tempat yang mereka anggap aman, seperti masjid dan sekolah.

Menurut Azriana, gerakan perempuan dibendung saat pemerintahan presiden Soeharto. Perempuan dikebiri dalam ranah-ranah publik dan politik melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

"Selama 32 tahun perempuan adalah sosok di belakang suaminya,"ujarnya.

Azriana menganggap  semasa pemerintahan Soeharto, politikus perempuan secara sistematis "dihilangkan". Itulah yang membuat orang kelak beranggapan bahwa perempuan tidak punya kualitas dalam berpolitik.

"Sedikitnya 102 orang perempuan menjadi korban pemerkosaan tentara di masa DOM. Dan hanya satu kasus pemerkosaan saja yang disidangkan, selebihnya dibiarkan mengambang tanpa kejelasan. Jadi bagi gerakan perempuan, tidak ada tanda jasa untuk Soeharto," tegas Azriana.

Reza Idria dari Komunitas Tikar Pandan menyambung pernyataan Azriana. Komunitas Tikar Pandan merupakan perkumpulan masyarakat sipil yang menjadi pusat kajian dan pemberdayaan rakyat dalam bidang kebudayaan untuk mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial di Aceh.

"Pada masa Orba (Orde Baru), pemerintah pusat membentuk lembaga kesenian daerah sebagai alat suara politik pemerintah ketika itu. Kehidupan seniman dijadikan masyarakat yang marjinal. Pemutusan hak informasi dan melarang penerbitan buku-buku sejarah sebagai upaya mengaburkan fakta sejarah, ini adalah pembodohan secara sistematis," kata Reza.

Lagu-lagu tradisional Aceh yang dinyanyikan kelompok musik Nyawoeng, misalnya dilarang beredar di pasaran. Lagu-lagu itu dituduh mengajak orang Aceh melawan pemerintah. Sejak DOM berlaku, lagu-lagu dan seni tradisional Aceh tidak berkembang. Penyebabnya tak lain dari represi militer.

"Selanjutnya Rahmat Djailani dari PRA yang menyampaikan pandangannya," pinta Hendra

PRA singkatan dari Partai Rakyat Aceh. PRA didirikan  sejumlah aktivis Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh pada 2 Maret 2006. Front itu adalah pengembangan dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat atau SMUR, organisasi mahasiswa pro demokrasi di Aceh.

SMUR berafiliasi dengan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi atau LMND, organisasi semilegal Partai Rakyat Demokratik atau PRD. Partai ini dinyatakan resmi sebagai partai terlarang di masa Soeharto. Anggota dan pengurusnya yang terdiri dari anak-anak muda berusia 20-an ditangkap dan dipenjarakan. Mereka baru dibebaskan di masa pemerintahan presiden Habibie.

Rahmad Jailani bertubuh agak gemuk. Rambutnya cepak. Nada bicaranya keras

"Partai politik yang berkuasa waktu itu hanya boleh satu partai. Bagi kami hal ini bertentangan dan melanggar dengan falsafah dan ideologi Pancasila, yang mengajarkan tata cara berpolitik dan menjunjung tinggi HAM," ujar Rahmad.

Menurut Rahmad,  jika pemerintah Indonesia menganugerahi Soeharto gelar pahlawan nasional,  artinya pemerintahan sekarang berkhianat pada Pancasila.

Orde Baru melakukan penyederhanaan jumlah partai politik. Ada tiga partai politik resmi yang ditetapkan negara di masa Soeharto: Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokarasi Indonesia, dan partai pemerintah, Golongan Karya.

Mukhtaruddin memperoleh giliran bicara sesudah Rahmad. Dia ketua umum Aliansi Jurnalis  Independen (AJI) kota Banda Aceh. Mukhtaruddin terlambat datang, sehingga kursinya terletak di belakang. Dia segera melangkah ke depan.

"Waktu itu hanya satu organisasi pers diizinkan berdiri yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dan ruang gerak kebebasan pers dipersempit dengan mengesahkan Undang Undang Pers Nomor 11 Tahun 1966," katanya.

Berdasarkan undang-undang itu, organisasi pers ialah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers yang disahkan pemerintah.

"Ketika Undang Undang itu berlaku di Indonesia, semua wartawan mesti terlebih dahulu terdaftar sebagaiPWI," kata Mukhtaruddin.

PWI berdiri pada 1946. Semula PWI dimaksudkan sebagai wadah bagi para wartawan pejuang yang demokratis, tapi dalam perkembangannya PWI telah dijadikan "kuda tunggangan" politik kekuasaan Orde Baru.

Sebagian pembicara usai menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap rencana pemberian gelar pahlawan pada Soeharto dengan mengungkap perbuatan-perbuatan sang almarhum di masa hidupnya. Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa. Dia meninggal dunia dua tahun lalu.

Moderator pun membuka sesi tanya-jawab sesudah Mukhtaruddin menyampaikan pendapatnya.

Namun, Nurdin Hasan dari Serambi Indonesia malah mempertanyakan keakuratan data tentang korban rakyat sipil ketika pemberlakuan DOM yang dimiliki KMSA.

Hendra Fadli bereaksi. Dia menyatakan bahwa titik berat masalah DOM bukan sekadar jumlah, melainkan unsur kejahatan sistematis dan meluas. Kejahatan di masa DOM itu masuk dalam ranah kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.

Pemerintah Orde Baru memberlakukan DOM di Aceh untuk menghentikan perlawanan GAM.

Gerakan menentang Jakarta dimulai ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 1976, yang kelak dijuluki Gerakan Aceh Merdeka atau GAM oleh Soeharto.

Tiro  ingin Aceh menjadi negara berdaulat. Dalam pandangan Tiro, konflik ini dipicu oleh tindakan penjajah kolonial Belanda mengambil kedaulatan dari kerajaan Aceh pada 1873. Ketika Belanda angkat kaki dari Indonesia, Belanda tidak ikut mengembalikan kedaulatan kerajaan Aceh, melainkan menyerahkannya kepada kolonialis Jawa di tahun 1949.

Dengan alasan menumpas perlawanan bersenjata GAM yang kemudian dijuluki lagi sebagai Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT), Soeharto menerapkan DOM dengan sandi “Operasi Jaring Merah” atas permintaan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada 1989.

Pada 31 Agustus 1998, Habibie, presiden setelah Soeharto, mencabut status DOM. Dia memerintahkan Panglima TNI Jenderal Wiranto  untuk menarik seluruh pasukan non-organik dari Aceh. Di masa pemerintahan Habibie pula, di bawah tekanan dunia internasional, Timor Leste menyelenggarakan referendum dan memperoleh kemerdekaannya.

Sebuah temuan investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di tahun 1998 memperkirakan 3000 perempuan menjadi janda dan 15.000 sampai 20.000 anak-anak Aceh menjadi yatim piatu.

Berdasarkan verfikasi KMSA, dalam kurun waktu sepuluh tahun saja tercatat 871 orang meninggal karena tindak kekerasan, 387 orang hilang kemudian ditemukan meninggal, 550 orang hilang, 368 korban penganiayaan, 120 korban dibakar rumahnya, serta 102 perempuan korban perkosaan. Ini belum termasuk kasus yang tak tercatat.

Pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

Dalam butir 2.2.2 Perjanjian Helsinki tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa sebuah pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh dan  butir 2.2.3 juga menegaskan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

Namun, butir mengenai HAM dalam Perjanjian ini hanya sebatas teks saja.  KKR tidak pernah terbentuk, sedang statusnya yang bersifat nasional malah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

Usai menjawab pertanyaan Nurdin, Hendra menyilakan Tengku  Faisal Ali bersuara.  Faisal ketua Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Aceh.  NU adalah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia dan di dunia, berdiri pada 31 Januari 1926.

Tapi pagi itu  Faizal Ali tidak datang dengan membawa nama NU. Dia mengatasnamakan Pimpinan Pesantren Mahyal Ulum Al-'Aziziyah, pesantren tradisional yang berada di Sibreh, Aceh Besar.

Nada bicaranya santun. Dia membuka pembicaraan dengan saran, "Yang sangat pantas untuk almarhum Soeharto adalah kita mendoakan agar dia diampuni dosa-dosanya oleh Allah, itu yang sangat pantas bagi almarhum."

"Tapi, berkenaan dengan gelar pahlawan. Ini adalah persoalan kemanusiaan. Masih banyak orang yang pantas didahulukan dari beliau. Soeharto belum saatnya mendapatkan gelar itu," kata Faizal.

Selesai Faizal bicara,  giliran Hospinovizal Sabri dari Lembaga Bantuan Hukum-Banda Aceh berkomentar.

Hospinovizal menyebutkan bahwa pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto akan berkontradiksi dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2009 Pasal 2 yang pemberiannya berasaskan kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, keteladanan, kehati-hatian, keobjektifan, keterbukaan, kesetaraan, dan timbal balik.

"Sampai saat ini, dengan status hukum mantan presiden Soeharto yang tidak jelas karena tidak ada upaya hukum apapun yang dilakukan pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM, dan ini menjadi rasa ketidakadilan bagi korban HAM," katanya.

Askhalani dari Gerakan Anti Korupsi atau GERAK menyambung Hospinovizal. Menurutnya, Soeharto adalah pemimpin terkorup di dunia.

"Tak sewajarnya dia mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah.  Pengusutan kasus korupsi Soeharto terlampir dalam Tap MPR nomor 11 Tahun 1998, yang dalam salah satu pasalnya mengamanatkan penuntasan proses hukum terhadap mantan Presiden Soeharto," tuturnya.

Setelah para pembicara usai menyatakan pandangan mereka, moderator membuka sesi bertanya kembali. Seorang perempuan langsung mengajukan pertanyaan yang sebenarnya lebih mirip pernyataan.

"Seharusnya kejahatan HAM yang dilakukan Soeharto diajukan ke mahkamah internasional. Dia adalah penjahat perang, sama halnya dengan mantan presiden Slobodan Milosevic. Dia sama sekali tak pantas jadi pahlawan," ujar Maryati. Dia perwakilan dari Forum Akademisi Aceh.

Slobodan Milosevic adalah mantan pemimpin Serbia-Bosnia. Dia dianggap paling bertanggung jawab terhadap  pembantaian atau  atau genosida di Bosnia dan Kroasia. Kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya telah menyeret Milosevic ke meja hijau Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda. Pada 11 Maret 2006, ia meninggal di sel tahanannya.

Reaksi pro dan kontra pun mulai muncul. Seorang di kursi belakang menyatakan bahwa orang juga tak boleh menutup mata atas keberhasilan pembangunan yang dilakukan Soeharto.

"Di masa kepemimpinannya, Indonesia dijuluki "macan Asia".  Bagaimana menurut pandang anda dengan hal itu?" tanya orang tersebut.

Soeharto juga pernah dianugerahi United Nations Population Award, penghargaan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang kependudukan melalui program Keluarga Berencana.

Penghargaan itu disampaikan langsung dalam sebuah upacara di Markas Besar PBB di New York, bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989.

Reza Idria dari Komunitas Tikar Pandan menanggapi pertanyaan itu.

Menurut Reza, gelar bapak pembangunan yang diperoleh Soeharto dulu dan julukan Indonesia sebagai macannya asia  tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Soeharto juga. Di masa pemerintahannya, media dikuasai penuh oleh negara dan negara menggunakan media sebagai corong kekuasaannya.

"Cukup gelar istilah bapak pembangunan saja untuk Soeharto, tidak harus pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional," tukas Azriana.***