Wednesday, August 24, 2011

Jalur Independen

Aceh Feature, 3 Januari 2011

Mahkamah Konstitusi menetapkan calon independen berhak ikut serta dalam Pilkada Aceh tahun ini, mengakhiri debat dan aksi pro-kontra di kalangan politisi dan partai-partai di Aceh.


KURSI-kursi masih kosong di ruangan itu. Di atas meja berserak koran-koran. Safaruddin, pengurus Partai Suara Independen Rakyat Aceh atau Partai SIRA, menyambut tamunya.  Sikapnya jauh dari kesan kaku. Kadangkala dia melontarkan gurauan. Pakaiannya pun bergaya santai. Dia mengenakan setelan kemeja putih bergaris merah dan celana jins. Ada bekas cukuran di dagunya, yang kalau rambut di daerah itu dibiarkan tumbuh bisa membuatnya brewok dan lebih angker.

Dulu Safaruddin aktivis mahasiswa dan ikut organisasi mahasiswa yang juga bernama SIRA, dengan kepanjangan berbeda: Sentral Informasi Referendum Aceh.  Kesepakatan pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Agustus 2005 di Helsinki telah melahirkan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 tentang pembentukan partai lokal dan membuat SIRA menjelma partai politik pada pertengahan Desember 2007 lalu. Safaruddin pun berubah predikatnya, dari aktivis mahasiswa ke politikus partai.  Selain itu, dia juga seorang pengacara.

Namun, ada pasal dalam UUPA yang membuat orang-orang politik dan memahami hukum seperti Safaruddin khawatir dan protes.

“Ini terkait dengan pasal 256,” katanya.

Pasal tersebut menyatakan bahwa calon perorangan  atau independen hanya berlaku sekali saja sejak UUPA ditetapkan. Padahal Safaruddin ingin agar calon independen dibolehkan ikut pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Aceh pada 2011.

Dia lantas ikut serta dalam sidang pengajuan judicial review  atau tinjauan pengadilan tentang jalur independen atau perorangan ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

“Karena negara menjamin hak warga negaranya secara konstitusional, dan UUPA pasal 256 merugikan hak konstitusional dan juga bertentangan dengan UUD 1945,” ujarnya, merujuk pada undang-undang yang lebih tinggi.

Lagipula dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah tercantum tentang jalur independen atau perorangan ini.

“Tapi sekarang ada sebagian orang menolak jalur independen untuk Pilkada 2011 mendatang. Jadi kita menuntut keadilan agar jalur independen ini dapat terwujud kembali,” ujar Safaruddin.

Pada Pilkada 11 Desember 2006 silam, Komisi Independen Pemilihan-Aceh atau disingkat KIP Aceh menetapkan delapan calon gubernur dan calon wakil gubernur Aceh. Pasangan ini ada yang berasal dari partai politik dan gabungan partai politik, dan juga dari jalur independen.

Ada lima pasangan calon dari partai atau gabungan partai politik: Iskandar Hoesin-Muhammad Saleh Manaf  (Partai Bulan Bintang), Tamlicha Ali-Harmen Nuriqmar (Partai Bulan Reformasi- Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia-Partai Kebangkitan Bangsa), Malik Raden-Sayed Fuad Zakaria (Partai Golkar-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan-Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia), Humam Hamid-Hasbi Abdullah (Partai Persatuan Pembangunan), dan Azwar Abubakar-Nasir Djamil (Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera).

Tiga pasangan dari jalur independen, masing-masing  Djali Yusuf-Syauqas Ramatillah, Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar dan Ghazali Abbas Adnan- Salahuddin Alfata.

Bersama Muhammad Nazar pasangannya, Irwandi Yusuf berhasil mengalahkan tujuh pasang kandidat lain. Mereka pun jadi duet gubernur dan wakil gubernur Aceh periode 2006-2011.

Pasangan ini memperoleh suara sebanyak 768.745 atau 38,20 persen dari semua suara sah yang berjumlah 2.012.370. Menurut aturan KIP, pasangan yang memperoleh suara 25 persen atau lebih dari jumlah suara sah dapat ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Walaupun Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar mencalonkan diri lewat jalur independen, tapi mereka didukung GAM dan SIRA sampai akhirnya kedua organisasi itu menjelma sebagai partai-partai politik lokal yang berbeda. Orang-orang GAM kemudian membentuk Partai Aceh atau sering disingkat PA. Aktivis SIRA mendirikan Partai SIRA.


DI sudut Simpang Ulee Kareng, Banda Aceh ada kedai kopi Solong yang ramai. Banyak orang berbincang-bincang sambil makan dan minum di situ. Suasana gaduh dan gelak tawa sesekali terdengar.

Saya menunggu kedatangan Rahmat Djailani. Tak berapa lama dia muncul.
Rahmat mengenakan jaket katun dan celana jins, bertubuh agak gemuk. Rambutnya bergaya prajurit. Suaranya keras, yang sangat cocok untuk menyaingi kegaduhan dalam kedai ini. Sesekali telepon selulernya berbunyi.

Rahmat adalah salah satu pengurus Partai Rakyat Aceh atau PRA. Partai ini didirikan sejumlah aktivis Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh pada 2 Maret 2006. Front tersebut merupakan pengembangan dari Solidaritas Mahasiswa untuk Aceh atau SMUR, organisasi mahasiswa prodemokrasi di Aceh masa konflik.

Dia juga sekretaris Kaukus Partai Politik untuk Demokrasi. Organisasi ini terdiri dari partai-partai politik yang mendukung terwujudnya jalur independen di Aceh. Ada 14 partai politik yang bergabung, yang terdiri dari lima partai lokal (PRA, SIRA, Partai Daulat Aceh, Partai Bersatu Aceh dan Partai Aceh Aman Sejahtera) dan sembilan partai nasional (Partai Amanat Nasional,  Partai Gerakan Indonesia Raya alias Gerindra, Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura, Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Bulan Bintang, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Golkar dan Partai Demokrat).

“Jika jalur independen tidak diperbolehkan di Aceh, itu bentuk diskriminasi baru untuk demokrasi Aceh. Secara politik ada pihak yang tidak setuju dengan jalur independen,” ujar Rahmat.

Pihak manakah yang tidak setuju?

Menurut Rahmat, pihak yang tidak menghendaki kembalinya jalur independen adalah kalangan Partai Aceh atau PA, partai yang dibentuk para mantan GAM. PA bahkan menyampaikan keberatannya secara terbuka lewat media-media lokal di Aceh.

Menurut Ahmad Farhan Hamid, kemungkinan besar jalur independen akan disetujui  Mahkamah Konstitusi. Tapi tidak untuk Pilkada 2011. “Mungkin untuk Pilkada lima tahun mendatang,” katanya. Farhan adalah wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia. Dia menyatakan hal ini ketika kami bertemu di satu seminar belum lama ini.

Kalau pendapat Farhan ketika itu bernada lebih optimistis, Tengku Adnan Beuransyah justru berteguh pada apa yang ditetapkan dalam pasal 256 UUPA. Adnan adalah juru bicara PA dan Ketua Komisi A bidang pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

PA merupakan partai pemenang pemilihan umum legislatif pada 9 April 2009 silam, yang mengalahkan partai-partai nasional dan lima partai politik lokal lain. Tidak hanya itu. Partai-partai lokal lain bahkan tak bisa lagi ikut serta dalam pemilihan umum selanjutnya di Aceh akibat perolehan suara mereka yang berada di bawah lima persen.

Jalur independen atau perorangan sesungguhnya menjadi cara yang demokratis untuk melibatkan calon-calon yang tak berasal dari partai atau yang partainya gagal memenuhi kuota suara tadi. Agar demokrasi tetap berlangsung.

Tapi ada juga yang khawatir menyaksikan keterlibatan partai-partai nasional yang sudah lebih berpengalaman dalam politik dan agenda-agendanya ini dan minimnya pengalaman partai-partai lokal. Jangan-jangan aspirasi rakyat Aceh akan makin sayup dalam riuh kepentingan-kepentingan lain.

Menurut Adnan,  soal jalur independen harus merujuk pada UUPA, yang menyebutkan kesempatan itu cuma diberikan sekali saja dalam Pilkada Aceh. Lagipula, menurut dia,  belum ada partai lokal di Aceh waktu Pilkada 2006. Adnan menganggap aturan tersebut sudah sesuai dengan Perjanjian Helsinki, perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan GAM. Padahal dalam poin 1.2.2 Perjanjian Helsinki justru tertera ketentuan tentang calon independen: “Rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.”

Namun, seluruh pendapat pro dan kontra tersebut berakhir pada minggu lalu, 30 Desember 2010. Mahkamah Konstitusi di Jakarta mengabulkan permohonan para pendukung jalur independen untuk Pilkada 2011 di Aceh.

Menurut penjelasan Mahkamah Konstitusi, tindakan menentang calon independen bertentang dengan UUD 1945. Keputusan Mahkamah Konstitusi juga sesuai dengan keputusan lembaga ini pada 2007 yang mengakui dan membolehkan calon perorangan atau independen ikut berlaga dalam Pilkada. Ketentuan ini juga berlaku tak hanya untuk Aceh, tapi provinsi lain di Indonesia.




No comments: