Serambi Indonesia, 30 April 2011
SANGAT tidak arif ketika saya membaca opini Azwardi (Serambi Indonesia, 27/04/211) dengan judul “Inong Bak Keude Kupi”. Azwardi beranggapan perangai kaum inong bak keude kupi telah mencederai spririt Kartini, seorang pahlawan perempuan yang diagung-agungkan di pulau Jawa.
Tak hanya itu, Azwardi melihat fenomena inong bak keude kupi hanya dari sudut negatifnya saja, dengan memberikan logika cerita sekelompok anak muda yang terdiri atas beberapa orang lelaki dan beberapa orang perempuan yang larut dengan suasana kebersamaan, dan menyandarkan dadanya di tepian meja serta merentangkan tangan ke bidang meja tanpa menghiraukan orang-orang sekelilingannya.
Dan sungguhlah tak arif dengan melihat fenomena itu, Azwardi memberikan kesimpulan bahwa kaum inong Aceh yang sering meluangkan waktu ke keude kupi (secara keseluruhan) telah lupa diri dengan nilai-nilai adat dan kebiasaan masyarakat Aceh dan nilai-nilai keislaman, dan bahkan menebarkan aib bagi keluarga yang bersangkutan
Menurut hemat saya, pergeseran adat kebiasaan dan nilai keislaman tidak semata-mata karena pengaruh kultur budaya dari luar, apalagi dengan menyalahkan pegiat-pegiat Non-goverment Organization (NGO) asing, pergeseran ini terjadi dalam diri pribadi manusia itu sendiri, manusia telah dianugerahkan akal dan pikiran untuk bisa menentukan secara bijak pola pikirannya yang sesuai dengan adat kebiasaan dan nilai ajaran islam masyarakat Aceh.
Teman-teman perempuan saya berdiskusi panjang lebar tentang opini tersebut di jejaring sosial facebook, mereka merasa terzalimi membaca opini yang provokatif itu. Mereka berpendapat, melihat suatu fenomena harus menserasikan antara keadaan positif dan negatif. Apalagi ini berkaitan dengan spirit perempuan. Mungkin saudara Azwardi tidak pernah melihat atau bahkan menutup mata saat ada sekelompok lelaki dan perempuan yang menjadikan warung kopi itu sebagai sarana informatif yang sangat murah mengakses layanan internet untuk keperluan pendidikan. Tidak hanya itu, warung kopi di Aceh juga menyediakan ruangan khusus sebagai musalla, dan ini sebagai wujud kesadaran pemilik warung kopi menjaga adat istiadat dan nilai-nilai ajaran islam di Aceh. Hal ini jarang kita temukan di warung kopi atau cafe di luar Aceh.
Lebih mirisnya lagi saudara Azwardi mencibir inong keude kupi dengan ucapan, “nyan inong cot; inong peukanjai bansa; nyan hana lam kamuh inong Aceh”, entah dari mana sumber kebenarannya yang menyebutkan perempuan warung kopi adalah sosok perempuan yang menjatuhkan martabat suatu bangsa. Tak hanya itu, saudara Azwardi kembali menguatkan argumennya dengan termilogi adat Aceh, perempuan itu adalah purumoh (orang rumah) yang secara kontektual aktifitas perempuan dibatasi.
Pandangan Azwardi tentang perempuan sebagai “purumoh” sangat bertolak belakang dengan spirit Cut Nyak Dhien. Walaupun Cut Nyak Dhien berasal dari keluarga bangsawan yang taat beragama, dia menghabiskan masa hidupnya bergerilya ke hutan-hutan melawan penjajah Belanda. Beda halnya dengan Raden Adjeng Kartini, seorang perempuan dari kalangan priayi atau kelas bangsawan Jawa yang menghabiskan sisa hidupnya di kraton.
Sejarah juga mencatat, salah satu alasan Cut Nyak Ddien menerima lamaran Teuku Umar, lantaran Cut Nyak Dhien mempersilakannya untuk ikut serta bertempur di medan perang melawan Belanda ketika itu. ikut sertanya Cut Nyak Dhien selaku perempuan dalam pertempuran membuat moral semangat pejuang Aceh semakin mengalir. Dan lewat sejarah inilah telah membuktikan keberadaan kaum perempuan Aceh bukanlah sebagai “purumoh” yang ditafsirkan selama ini.
Kembali ke Inong keude Kupi yang disebut-sebut kaum yang melawan kodratnya sebagai perempuan. Terlalu taklib jika kita menuduhnya seperti itu. Menurut para teolog Islam kodrat definisikan secara umum berasal dari kata qâdir yakni, apabila berkehendak, akan berbuat sesuatu dan apabila berkehendak, akan meninggalkannya.
Kodrat merupakan salah satu sifat yang bisa kita temukan dalam diri kita sendiri pada tingkatan terbatas. Kita tidak menyadari pada dasarnya kodrat itu muncul dari naluri manusia itu sendiri. Apa saja naluri itu? naluri itu sama hal yang telah dicontohkan oleh saudara Azwardi ketika ada inong keude kupi yang menjejerkan bahunya, nimbrung, mejeng, kongkow, ketawa-ketawa, dan ngakak. Dan apakah naluri ini tidak dimiliki oleh agam keude kupi? Tak sewajarnya jika kita cuma menyalahkan inong keude kupi saja, bukankah inong dan agam keude kopi sama-sama dianugerah naluri manusia oleh Allah SWT. Lihatlah kekurangan dan kelebihan seseorang itu sebagai pengalaman hidup, dan tidak ada makluk yang sempurna di dunia ini diciptakan oleh Allah dengan kodrat-Nya.
No comments:
Post a Comment