“Aku bukan penjahat, aku Punker”. Sangat wajar rasanya kalimat pembuka opini saya tulis seperti itu. Mengingat maraknya pemberitaan media cetak dan online di Aceh maupun nasional tentang penangkapan dan pembubaran konser amal bertajuk “Aceh for Punk” di Taman Budaya, Banda Aceh (10/12). Para Punker digelandang ke Mapolresta Banda Aceh, sebelum akhirnya dikarantina di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar untuk menjalani “pembinaan”.
Foto-foto anak-anak Punk yang sedang dilakukan pembinaan moralnya di SPN Seulawah terpampang jelas di media. Sebagai alasan pembinaan, rambut gaya Mohawk indentitas para anak Punk dipotong oleh pihak kepolisian di muka umum, dan para Punker juga dimandikan di kolam secara berjamaah.
Melihat fenomena pembinaan moral anak bangsa seperti itu, menarik untuk dibicarakan. Saya yakin apapun alasan untuk dijadikan pembenaran tindakan pembinaan seperti itu akan mengundang perang opini dikalangan masyarakat. Terlepas dari pro-kontra, saya tak bermaksud membela anak-anak Punk bahkan menghujat aksi penangkapan yang dilakukan pihak penegak hukum (polisi). Saya hanya sekedar bersuara lewat tinta berkaitan fenomena pembinaan anak Punk dari sudut pandang interest (sisi kemanusian) semata.
Dilihat dari sejarah, akar kelahiran komunitas Punk dimulai di Inggris. Punk sendiri adalah gerakan anak muda yang dipelopori oleh kaum tertindas dari kelas pekerja, gerakan ini muncul dari ketidak puasan anak muda terhadap kehidupan bernegara. Pada tahun 1980-an gerakan Punk akhirnya juga merambah anak-anak muda di Amerika yang sedang mengalami masalah ekonomi dan keuangan. Masalah ini dipicu oleh kemerosatan moral para tokoh politik atau penguasa sehingga berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakat Amerika ketika itu.
Punk juga bisa dikatakan sebagai ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik, namun Punk juga dapat berarti jenis musik atau gendre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punker di Amerika mengkritisi para tokoh politik atau penguasa lewat lagu dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar dan sarat dengan kritik sosial. Cara seperti itulah para Punker Amerika melakukan pembinaan moral kepada politikus atau penguasa di negaranya.
Dewasa ini banyak orang mengira tingkah laku seperti potongan rambut Mohawk atau diwarnai dengan warna terang, memakai sepatu boots, rantai, jaket kulit, celana jeans dan baju lusuh, anti kemapaman, anti sosial, kaum perusuh, pemabuk, pelaku kriminal kelas rendahan, bahkan disebut sebagai penyakit sosial adalah layak disebut sebagai Punker. Menurut hemat saya ini adalah pandangan yang keliru, Punk sebenarnya dapat diartikan sebagai sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves (kita dapat melakukannya sendiri), keyakinan ini menuntut anak Punk untuk belajar berusaha mandiri dan berusaha lebih dewasa saat menghadapi krisis ekonomi.
Berbicara dengan penyakit sosial dan kerusakan moral, sebenarnya penyakit ini buta dengan namanya suku, agama, dan antargolongan. Virus ini dapat merusak siapapun, termasuk penguasa, penegak hukum, pelaku pendidikan, dan bahkan kita sendiri juga tak akan mampu menjamin lepas dari wabah kerusakan moral ini.
Bukti kerusakan moral dapat melanda siapa saja sudah sering kita dengar dari pemberitaan di media-media. Adakah anda menonton atau membaca berita tentang para penguasa yang tamak (korup) di negeri ini? Saat penegak hukum menggadaikan keadilan untuk kepentingan pribadi, bahkan pemberitaan tentang kerusakan moral di dunia pendidikan, ketika seorang pendidik yang seharusnya menjadi panutan malah melakukan tindakan asusila. Itulah segelintir bukti wabah kerusakan moral dapat menghantui siapa saja.
Kembali ke fenomena “pembinaan” anak-anak Punk di SPN Seulawah, sungguh tak arif metode pembinaan ala militer disuguhkan untuk mereka. Ya, walaupun ada metode pendekatan spiritual dalam pembinaan moral anak-anak Punk itu.
Namun dikaji dari perspektif keadilan dan kemanusian tak sepatutnya anak-anak Punk sebagai kaum minoritas disuguhkan pembinaan moral seperti itu. Bukankah penyakit moral bisa melanda siapa saja? Pembinaan seperti itu malah akan melukai nilai-nilai kemanusian. Metode pembinaan ala militer untuk anak-anak Punk mengingatkan saya ketika Aceh masih dalam keadaan konflik. Malahan pembinaan tak terkontrol oleh lembaga sipil akan meninggalkan rasa trauma psikologis nantinya bagi anak-anak Punk.
Semestinya, jika anak-anak Punk terbukti melakukan tindakan pidana atau kriminal tak seharusnya mereka dicap secara kesuluran sebagai komunitas yang patut ditindak dan dihukum. Bukankah tindakan hukum itu dilihat dari pelakunya secara personalitas (individu). Lagi-lagi negeri kita berlaku tak adil terhadap kaum minoritas.
Mungkin ini cerita konyol dan lucu saat seorang dari kaum mayoritas yang memiliki kekuasaan dilanda permasalahan hukum. Mereka beramai-ramai melakukaan pembelaan dengan cerita-cerita dongeng terhadap kaumnya di media. Tapi saat dia benar-benar menjadi terdakwa di mata hukum, hanya kalimat penyejuk “itu oknum yang melakukannya” terlontar dari mulut kaum mayoritas dipemberitaan keesokannya.
Bisa saja kegiatan amal bertajuk “Aceh for Punk” sebagai protes nyata komunitas Punk terhadap kebijakan demokrasi yang tak memihak kepada masyarakat tertindas ekonominya. Mereka ingin memberikan bukti, bahwa mereka punya rasa sosial dan simpatik terhadap permasalahan anak-anak yatim piatu di panti asuhan. Semestinya sindiran halus yang berakhir di “penjara pembinaan” dapat menyadarkan penguasa yang selalu mendewakan sistem demokrasi di negeri ini. Bukankah dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Jika kita masih saja menutup mata dengan rasa keadilan, kemerosatan moral akan tetap melanda
No comments:
Post a Comment