Serambi
Indonesia, Minggu 27 Mei 2012
Adal nama anak malang
itu. Gelisah. Dia berdiri dengan pose kaku seperti patung duka cita. Lingkaran
hitam mengatung di bawah kelopak mata. Keringat meleleh bak mentega mencair.
Roman wajahnya kelihatan sangat pucat. Tubuhnya kecil. Kurus. Kulit hitam mengkilap.
Rambut keriting. Dia tuna wicara. Pagi itu, selembar layar raksasa terpampang
di muka Gedung Pengadilan. Beberapa orang wartawan mondar-mandir meliput
persidangan Adal. Kilatan kamera leluasa menyambar mukanya. Memantul cahaya
dari bola mata.
Laki-laki, perempuan,
tua-muda, ibu-ibu mengendong anak, berdesak-desakan di ruang pengadilan.
Sebentar kemudian, penuntut umum menyodorkan barang bukti dan menyampaikan
dakwaan untuk Adal kepada Hakim. Adal tak bisa berkata sepatah katapun
untuk membela diri. Hanya terdiam. Tiba-tiba dia menengok ke belakang menatap
tajam ke arah Limah.
Limah adalah orang tua
Adal. Dia pemulung. Berusaha tegar menatap buah hatinya berdiri polos di
hadapan Para Hakim.
Dia tidak memakai kain
berbahan sutra, melainkan gaun pendek lusuh dengan kancing tak tertutup semua
yang dipungut dari tong sampah. Baju kumuhnya sangat kontras dengan orang-orang
yang ingin melihat persidangan Adal. Anak malang itu didakwa telah
mencuri sepasang sandal jepit. Dia terancam mendapat kurungan penjara selama
lima tahun.
Limah menghela nafas
panjang mendengar putusan Pengadilan. Adal telah terbukti bersalah. Seketika
tangis Limah pecah. Dia mengiba keadilan untuk buah hatinya itu.
“Dimana keadilan
untuk anakku?” teriak Limah dengan suara serak. “Anakku tak ada niat sekalipun
mencuri sandal kumal itu,” ujarnya lagi. Batinnya tak kuasa melihat tubuh
mungil buah hatinya dibungkam jeruji besi. Dia masih terlalu kecil menerima
hukum seberat itu. Umur Adal baru beranjak 12 tahun.
*****
Suami Limah telah tiada
ketika Adal masih dalam kandungan. Setahun kemudian kesedihannya makin
menjadi-jadi ketika desa mereka diterjang gelombang raya. Semua jasad keluarga
Limah tak pernah ditemukan. Air gelombang telah menggulung dan menghanyutkan
mereka entah ke mana.
Rumah peninggalan
mendiang suaminya kini telah tenggelam dalam hamparan samudera. Satu-satunya
harta yang tersisa hanya sehelai kain yang melekat di tubuh Limah dan
Adal. Limah kemudian jadi pemulung.
Adal pun putus sekolah.
Dia cuma belajar baca tulis sampai kelas lima sekolah dasar.
Sekarang mereka hanya
mampu membangun sebuah gubuk di atas lahan milik pemerintahan kota. Lapak
gubuk tidak jauh dari tempat pembuangan akhir.
Gubuk mereka berlantai
tanah dan tampak nyaris roboh. Ibarat pakaian, usang dan penuh tambalan. Tempat
tidur kayu tanpa kasur merapat ke salah satu dinding. Tak ada kursi dan meja.
Lantai dilapisi plastik hitam. Langit-langit juga berlapis plastik biru-hitam.
Bila musim hujan, lantai gubuk tergenang air dan berlumpur. Gundukan sampah
plastik dan kaleng-kaleng bekas berada di muka gubuk mereka. Bau busuk
menyengat hidung.
***
Tiga minggu sebelum
Adal diperkarakan, dia memberikan kado sepasang sandal jepit kumal untuk Limah.
Tali sandal pun hampir putus, tinggal menghitung hari sandal itu akan berakhir
riwayatnya. Tapi sebelum itu terjadi, Adal memungut sandal itu dari luar
pagar perkarangan rumah seseorang yang tak ia kenal.
Hatinya sangat girang.
Dia bergegas mencari koran bekas dan kardus kecil dalam tong sampah. Membalut
sandal jepit kumal itu menjadi sebuah kado. Lalu, dia menulis “Kado Adal,
Untuk Mak”.
Menjelang malam Adal
berlari pelan. Sebelah tangannya memegang kado. Dia mengikuti jalan
setapak menuju gubuknya.Ibunya pun bangun dari tidurnya. “Apa itu
Adal?” Dia hanya mengapit kedua jari telunjuk dan jari jempol membentuk
simbol “love”. Kemudian memberikan kado itu untuk Maknya. Tiba-tiba mata Limah
berkaca-kaca, memantulkan bayangan Adal. Perasaan terharu berkecamuk dalam
benaknya.
“Mak sayang
kamu,” ucapnya sambil membelai lembut rambut Adal. Jari-jari Adal menyeka
air matanya. Sesekali mengembang senyum di bibirnya. Limah tak bisa
berkata-kata lagi. Memeluk. Mencium kening Adal. Sebentar kemudian Limah
membuka kado itu pelan-pelan. Isinya sepasang sandal jepit. Dia makin menangis
tersedu.
Adal langsung membantu
mengenakan sandal jepit itu. Borok masih membekas di telapak kaki
Limah. “Adal. Mak tahu, kamu pasti tak tega melihat telapak kaki Mak
terluka lagi,” kata Limah dengan mata berkaca-kaca. Adal cuma menganggukkan
kepala.
***
Pernah suatu ketika,
mata hari sangat terik. Hembusan panas terasa memanggang jalan beraspal. Limah
bertelanjang kaki menyelesuri sudut-sudut kota. Merangkul karung goni di
pundaknya. mata yang awas mengintai setiap jalan yang dilewati.
Menghentikan langkah
sejenak memungut kaleng, kardus bahkan kertas yang tak lagi terpakai. Lalu
kakinya kembali menyapa sudut-sudut kota.
Menjelang magrib seraya
memegang kayu penyangga, ia berjalan tertatih-tatih kembali ke gubuknya.
Telapak kakinya melepuh seperti terbakar. Ada luka menganga juga.
Lantas Adal bergegas
berlari ke arah Limah. Merangkulnya. Tubuh mungil itu menjadi penyangga
untuknya. Dia membilas luka Limah dengan air. Memandang muka maknya yang
menahan rasa perih.
Keheningan malampun
mulai menyergap. Adal tak memejamkan mata. Batinnya merasa terluka malam itu.
Ia tak kuasa melihat penderitaan Maknya.
Sejak kejadian itulah,
anak laki-laki tersebut tiap kali melihat sandal , ia segera memungutnya.
Di pagi buta tangan
kecil pucat itu memungut sandal jepit kumal yang dikiranya tak bertuan. Dia
malah dituduh mencuri. Sekarang nasib Adal harus senyap di balik jeruji besi.
Melawan dingin dan rasa rindu untuk Mak tercinta.
No comments:
Post a Comment