Wednesday, June 13, 2012

Mengobral Hukum Islam


Tulisan opini saya berjudul “Hukum Islam di Aceh” baru saja diterbitkan media lokal di Aceh. Opini saya menyorot tentang kepentingan politik dan agama berkenaan Hukum Jinayah. 

Jinayah merupakan bentuk dari verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara etimologi, jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah (Ma’luf,1945:88). Kata jinayah dalam istilah hukum adalah sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara` karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan dan akal.


Saya merasa opini itu cukup menampar muka  para politisi yang mendewakan syariat Islam di Aceh untuk kepentingan partai politik. Sebelum saya menulis opini tersebut, saya sempat membaca laporan berita di situs  http://www.voaindonesia.com/ edisi, 31 Juli 2011 dengan judul “Islam Seiring dengan Demokrasi, Namun Sering Disalahgunakan Demi Kepentingan Politik”. Saya merasa berita itu sangat menarik dan sangat mencerdaskan pembaca tentang kepentingan politik dibalik agama.

Dalam laporan itu ada mengutip pernyataan Dr. Laith Kubba – Direktur National Endowment for Democracy. Laith Kubba mengatakan, politisi menggunakan agama dan memobilisir opini publik untuk mengambil keuntungan secara politik dan finansial.

Sebenarnya berkenaan dengan isu syariat Islam bukanlah hal baru di Aceh. Nilai tawar syariat Islam bagi para politisi adalah amunisi ampuh merebut simpatik rakyat Aceh. Sejarah juga sudah pernah menorehkan tinda emas betapa ampuhnya isu syariat Islam membuat para politisi bertepuk dada menyakinkan para agamawan dan rakyat Aceh.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, presiden Soekarno pernah berjanji memberikan kewenangan Aceh untuk memberlakukan hukum Islam di Aceh yang tersohor dengan julukan Serambi Mekah. Ketika itu, presiden Soekarno meminta kepada Tgk. Daud Beureueh untuk membantu perang bersenjata antara Indonesia dengan Belanda. Tgk. Daud Beureueh akan meyanggupi permintaan Soekarno dengan dua syarat, yakni perang berlandaskan Fisabilillah, dan  Aceh diberikan kebebasan menjalankan syariat Islam nantinya.

Soekarno pun menyanggupi dua syarat tersebut. Saat itu, Tgk. Daud Beureueh meminta perjanjian ditulis dalam secarik kertas sebagai bukti untuk diperlihatkan kepada rakyat Aceh. Namun, Soekarno tidak menyanggupi permintaan hitam di atas putih dalam secarik kertas kepada Tgk. Daud Beureueh. Presiden Soekarno dengan menangis tersedu-sedu menyakinkan Tgk. Daud Beureueh tidak akan mengingkari janjinya kepada rakyat Aceh. Akhirnya selepas perang usai melawan Belanda, janji Soekarno tidak pernah diwujudkan di Aceh.

Tidak hanya itu, isu penerapan syariat Islam kembali mencuat dimasa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dus). Saat itu, Gus Dur berkomentar bahwa orang Aceh meminta Syariat Islam, bukan meminta kemerdekaan. Begitu juga pada masa kepemimpinan Megawati, menindak lanjuti Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan. Presiden Megawati mempertegas kembali dengan menandatangani lahirnya  Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Undang Undang tersebut mengatur tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah di  Aceh.

Sepintas jalan menuju pintu hukum Islam yang disutradarai oleh para politisi ketika itu, sejenak membuat rakyat Aceh lupa dengan isu kemerdekaan dan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia tetap berlanjut di Aceh, kenyamanan masyarakat masih saja terusik.

Pada masa damai Aceh, dan lahirnya lahirnya Undang Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006. Pasal sebelas undang-undang ini menjelaskan bahwa masyarakat Aceh diberi keleluasan dalam berserikat dengan membentuk partai lokal Aceh.

Sejumlah partai nasional dan partai lokal pun memeriahkan pesta demokrasi di Aceh. Tidak bisa ditampik, masa kampanye partai politik berlomba-lomba menghembuskan isu syariat Islam untuk merebut hati rakyat Aceh. Mungkin saja para politisi telah belajar dari sejarah para pendahulunya betapa ampuhnya janji hukum syariat Islam membuat rakyat Aceh luluh hatinya untuk memberi dukungan secara moral dan material.

Partai politik sebagai mesin politik akan selalu ada kepentingan menyelimutinya untuk mencapai tujuan kekuasaan, termasuk dengan mengambing hitamkan hukum Islam. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih antara kepentingan partai politik dan agama.

Buktinya, sejak Qanun Jinayah bergulir keranah publik pada tanggal 15 September 2009 silam, saat DPR Aceh mengesahkan qanun jinayah sebagai bagian dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pengesahan qanun itu telah menghindupkan perdebatan tentang formalisasi syariat (hukum) di Aceh. Selain itu, antara legeslatif selaku pembuat Undang Undang, dan eksekutif sebagai pelaksananya masih berbeda pendapat.

Perbedaan pendapat antara legeslatif dan eksekutif cukup memberi isyarat bahwa pelaksanaa syariat Islam di Aceh sarat dengan kepentingan-kepentingan elit politik. Tidak hanya itu, penegakkan syariat Islam pun jauh dari perspektif keadilan. Ketika masyarakat biasa terjerat perkara Jinayah, sorotan hukum Islam ditimpakan kepada mereka. Namun, ketika para elit politik atau orang-orang yang dekat dengan kekuasaan terjerat perkara Jinayah, hukum Islam menjadi “kabur”.

Syariat Islam bukanlah nilai tawar para elit politik. Maka marilah kita sama-sama menentang para politisi mengobral Agama untuk kepentingan politik


Sumber foto di sini






19 comments:

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Aceh Belum Siap Menjalankan Hukum Jinayah Kayaknya, Apalagi Klo semata2 cuma di jadikan Bahan Politik. Hehehhe

Unknown said...

Aceh Belum Siap Menjalankan Hukum Jinayah Kayaknya, Apalagi Klo semata2 cuma di jadikan Bahan Politik. Hehehhe

jufrizal said...

Hendri kurniawan mustar: Wah!!Syariat Islam di Aceh memang benar ane rasa jadi permainan politik, ada bukti lagi loh, kemarin ada partai politik (nama merek dirahasiakan) berkomentar di media, Aceh sudah saatnya diterapkan syariat Islam, kelihatan sekali politisi itu mengambil situasi menjelang pilkada tahun 2014 ke depan.

Unknown said...

whahahaha, memang sudah demikian watak pelaku2 politik di Aceh.
klo emg benar2 mau menjalankan Undang2 Syariah Kenapa Repot2? Di Alquran Kan Sudah Lengkap semua, Kenapa Di Ubah2, hehehe
Padahal Banyak Orang2 Berpendidikan Di Pemerintahan Aceh, Tapi Kinerja Otaknya Kurang DiPergunakan Dengan Baik.
Contoh : Razia Pakaian yg tdk memenuhi syariat islam, kenapa harus selalu di Razia? Mengapa tdk Di Berlakukan saja Undang2 "Aturan2 Perdagangan Pakaian Di Aceh".
Klo Tidak Ada di Perjual Belikan, Gak Mgkn kan org pakai?

jufrizal said...

Hendri kurniawan mustar: Tidak bisa juga seperti itu, kalau itu dilakukan akan mengkerdilkan dan membuat citra Islam tak bagus. Jika agama dan politik dicampurbaur untuk kepentingan ya seperti inilah akan terjadi.

Unknown said...

Berarti, Tugas Pemimpin Di Aceh Sekarang Berpikir Jernih Bagaimana Cara Mengembalikan Moral Masrarakat Aceh Agar Sadar Dengan Agamanya. Terutama ya Moral Dan Akhlak2 Pelaku Politik.
Jika Sudah Begini, Islam juga yg Di Cap tdk Benar

riza fahmi said...

btul mas hndri

jufrizal said...

Hendri kurniawan mustar, itu bukan tugas pemimpin!! tapi kesadaran pribadi manusia sendiri. Ane pernah berbincang-bincang dengan salah satu petinggi partai politik di Aceh, dia berkata padaku perjuangan sebenarnya bukanlah syariat Islam karena masyarakat Aceh pada dasarnya adalah masyarakat yang kental dengan Islam, hal yang terpenting adalah kesejahteraan. Maaf ane tak menyebutkan narasumbernya siapa!waktu itu aku berbincang-bincang saja bukan dalam rangka tugas liputan, dan waktu itupun ane masih culun sekali tuk menulis kritis.

bustami el fasi said...

sebnarnya aceh sudah siap menjalankannya, tapi kemudian banyak pihak mengait2kan syariat islam dengan politik

jufrizal said...

riza Fahmi, sebelumnya terima kasih sudah berkunjung ke blogku,semoga menjadi ahli surga, tapi selepas keluar dari neraka, he,,he,,he,,!! Btw komentarnya mana betul itu?

jufrizal said...

Kawanku Bustami: Siap bagaimana maksudmu? aku lebih setuju dengan pemikiran dalam buku hasan ditiro ttg demokrasi untuk indonesia.

Unknown said...

kalau contoh-contohnya lebih banyak terutama dalam scope lebih kecil mungkin bisa lebih membuka wawasan dan tulisannya gak kering ya, Jup. yang baru kutau, misalnya kasus lady gaga kemarin yg diprotes segelintir ormas. kalau menurut seorang teman, konser lady gaga dicekal konon katanya anak salah satu petinggi kalah tender, jadi dipolitisasi lewat isu agama itu tadi. soalnya, konser2 lain kan juga banyak yg sama vulgarnya. mungkin ada pendapat lain?

jufrizal said...

Ini aku tulis dalam konteks syariat islam khususnya hukum jinayah!!ohya soal kering, maklum utami irigasinya lagi bermasalah. Itulah kerja ormas-ormas jika sudah dibawah selelangkangan kepentingan duniawi, citra islam dikotorin. Paarah lagi si FPI udh mulai cari muka di Aceh dgn mengobral Agama dengan murah kepada kaum fanatik.

Eko Rusdianto said...

Di Sulawesi Selatan ada wilayah namanya Bulukumba. Punya gelar juga sebagai serambi Madinah. Nah pemerintahannya juga berusaha menjalankan syariat islam. Sepanjang jalan selalu saya temukan peringatan tentang salat, dan lain-lainnya itu.

Tapi di Bulukumba ada juga itu wisata terkenalnya, namanya Pantai Bira. Pasirnya putih, halus seperti tepung. Para wisatawan sering membandingkan dengan Bali, sayangnya Bira tak ada sunset.

Di Bira ini, para wisatawan bebas menikmati minuman keras disepanjang jalan, penjualnya pun warung-warung kecil. Dan ada puluhan juga kafe remang-remang.

Bira seperti menjadi pengecualian untuk hukum syariat di Bulukumba. Jadi kalau kalian berkunjung nantinya jangan takut (bagi pencinta minuman dan hiburan malam), tapi ketika keluar gerbang kawasan Bira, harus kembali ikut hukum syariah.

Keren kan..

jufrizal said...

Serambi Madinah? kok bisa nama seperti itu bang Eko, baru dengar ni ada adik dari serambi mekah (Aceh). Dan tentang syariat islam apakah peraturan pemerintah daerah (Pemda) dan apakah ada pengadilan syariah juga seperti di Aceh?

Unknown said...

Membaca tulisan ini, saya menjadi tahu bahwa di Aceh, Syariah Islam seperti komoditi yang bisa diperjualbelikan. Menjadi magnet yang cukup laris menarik massa. Padahal sesuai sejarah yang diuraikan oleh penulis, para pendahulu Aceh menginginkan Syariah Islam bukan sekedar menjadi label, tapi benar-benar diterapkan dalam ranah kehidupan. Merupakan kesalahan para politikus, bila syariah Islam saat ini menjadi magnet untuk mendongkrak popularitas semata.....

jufrizal said...

Ya begitulah Mbak Milla. Isu hukum Islam makanan empuk para politisi memancing suara pada pemilu. Dan kemarin ada salah satu politisi berkata, "Sudah saatnya Aceh berlaku syariat Islam", kelihatan sekali politisi itu buta mata melihat syariat islam yang sekarang berlaku di Aceh hanya untuk kaum melarat.

Unknown said...

ini Syariat Islam yang dipolitisir oleh elit politik? Atau justru bung Jufri yang mempolitisir Syariat dengan 'bahasa'? Opini anda ini justru mendiskreditkan Aceh dengan Syariatnya. :)