Friday, March 21, 2008

Dokter Musally


pantau, 14 Maret 2008


HARI itu, Kamis 10 Mei 2001 pukul 16.15. Sebuah bom meledak di Asrama Yayasan Kesejahteraan Iskandar Muda, di Jalan Tangkuban Perahu Nomor 1, Manggarai, Jakarta Selatan. Gelegar suaranya terdengar hingga radius dua kilometer. Ledakan itu meluluhlantakkan isi asrama dan bangunan di sekitarnya serta sebuah mobil sedan warna biru metalik bernomor polisi B-1610-V.

Warga di dalam dan luar asrama panik. Beberapa orang penghuni asrama menjadi korban. Belly, Du, dan Cekwi serta Abu sang perakit bom meregang nyawa. Asrama itu pangkalan para aktivis mahasiswa. Teuku Musally, juga salah satu korban. Ia tertimbun puing-puing bangunan.

Tim Gegana Kepolisian Daerah Metro Jaya melakukan penelusuran di Tempat Kejadian Perkara atau TKP. Dari penelusuran itu polisi menemukan dua bom aktif yang belum meledak. Di hari berikutnya, 11 Mei 2001, tim Gegana menemukan 300 bom molotov persis di belakang asrama tersebut.

Tak lama setelah itu kepolisian menerbitkan hasil penyelidikan mereka. Kepala Polisi Daerah Metro Jakarta Raya (Kapolda Metro Jaya) Inspektur Jenderal Sofyan Yakub menyatakan bahwa aktivis Aceh terlibat dalam kasus ledakan itu. Salah satunya, Musally.

Bagi Musally, hari ini seolah akhir dari kesempatannya menghirup udara kebebasan. Polisi membawanya ke tahanan. Dugaan polisi, dia adalah anggota komplotan perakit bom. Bukan cuma itu, komplotan ini dianggap termasuk jaringan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melakukan teror di Jakarta.

Buntutnya, Musally dijerat pasal 106 sampai dengan pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang makar.

Namun, lelaki itu ternyata masih diberi kesempatan melanjutkan hidupnya sampai hari ini. Dia yang hadir di hadapan saya di hari tersebut berpenampilan sederhana, suatu hari di bulan Februari 2008.

Teuku yang menjadi nama depannya menandakan bahwa ia masih keturunan bangsawan di Aceh. Orang Aceh lebih mengenal kata “bangsawan” dengan sebutan ”ulee balang”, artinya orang yang dipercayakan raja untuk memimpin sebuah wilayah di masa dulu.

Musally kelahiran Meureudu, Pidie Jaya, 22 November 1965 silam. Dia anak sulung dari enam bersaudara pasangan Teuku Gadeng dengan Cut Meurah.

Masa kecilnya dihabiskan di kampung kelahirannya. Sedari kecil dia telah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mandiri dan menghargai waktu. Agenda kegiatan sehari-hari telah ia catat di dalam buku hariannya. Dari waktu belajar sampai bermain. Biasanya dia menghabiskan waktu bermain di tepi pantai. Rumahnya terletak di pesisir.

Tahun 1984, Musally resmi menyandang status mahasiswa Diploma III Ekonomi, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Tahun 1986, untuk yang kedua kalinya dia kembali mengikuti ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan lulus seleksi di Fakultas Kedokteran. Kesibukan perkuliahan kini dia jalani di dua fakultas yang berbeda. Di tahun 1987 dia menyelesaikan Diploman III di Fakultas Ekonomi.

Di bangku kuliah, pemikirannya sudah mulai kritis. Dinamika politik Aceh dan nasional terus dia ikuti. Konflik yang berkepanjangan membuatnya tidak ingin berpangku tangan di bangku kuliah. Dia mulai mempelajari aktivitas GAM, nama yang tidak asing lagi di telinga Musally. Karena sebagian keluarga dekatnya aktif dalam gerakan ini.

Setelah salah satu keluarga dekatnya tertangkap, yakni Ayah Rahman atau lebih akrab dipanggil Ampon Raman Cot Makasoe, Musally makin bersimpati pada GAM. Cot Makasoe adalah nama desa yang berada di kecamatan Trieng Gadeng, kabupaten Pidie Jaya.

“Saya memutuskan bergabung dengan GAM setelah melihat perlakuan diskriminatif aparat kepada keluarga maupun masyarakat Aceh,” katanya.

Dia bergabung dengan GAM pada tahun 1986, ketika masih kuliah di Unsyiah. Walaupun sudah bergabung dengan GAM, kuliahnya tidak ditinggalkan. Dia tidak bergerilya dari hutan ke hutan seperti yang dilakukan oleh pejuang GAM lainnya.

Jalinan komunikasi dengan GAM tetap dilakukannya. Tidak ada seorang pun yang curiga dengan kegiatan politiknya. Dia tak banyak bicara dan karena itu keterlibatan dengan jaringan GAM tidak diketahui orang banyak.

Ketika aktif di GAM, dia sering bergabung dengan kelompok Hasbi Abdullah, adik kandung Zaini Abdullah, Meuntroe Keusehatan (menteri kesehatan) GAM di Swedia. Hasbi Abdullah juga dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah.

Pada tahun 1990 setelah tertangkapnya Hasbi Abdullah, Musally hijrah ke Medan. Aktivitasnya juga tidak terbaca oleh pihak intelijen Indonesia. Dengan membawa status mahasiswa, dia bisa menerobos pos pengamanan di Aceh. Di Medan, dia melanjutkan studi akhir kedokterannya di Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) dan memperoleh gelar dokter muda di UISU.

Setelah mendapatkan gelar dokter muda, dia kembali ke Aceh dan menjadi Pegawai Negeri Sipil alias PNS di Pidie. Sampai sejauh itu, keluarga, warga, maupun militer Indonesia belum mengetahui keterlibatannya di GAM.

Pertengahan tahun 1990, Musally mengakhiri masa lajangnya. Dia menikahi Aminah, gadis desa Garoet, Lueng Putu Kabupaten Pidie Jaya. Perkawinanya dengan Aminah dianugerahi tiga orang anak.


PADA 31 Agustus 1998, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Wiranto mencabut status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer atau DOM. Seluruh pasukan non organik di Aceh ditarik mundur.

GAM mencuat kepermukaan setelah pencabutan DOM. Tindak kekerasan yang pernah dilakukan pasukan TNI membuat banyak orang Aceh bersimpati pada GAM.

Ibarat jamur yang tumbuh di tengah musim hujan, jumlah keanggotaan GAM pasca-DOM menjadi berlipat-lipat. Ketika Aceh berstatus DOM, GAM hanya memiliki sekitar 200 anggota yang bersembunyi di hutan-hutan. Namun pasca-DOM, jumlah anggota GAM bertambah, sekitar sepuluh ribuan.

GAM melakukan aktivitasnya secara terbuka setelah penarikan pasukan non organik TNI. Melihat kondisi yang kembali mengancam keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesi atau NKRI, pemerintah Indonesia pun kembali melakukan operasi militernya, dengan nama “Operasi Wibawa” pada Januari 1999 sampai Mei 1999 dan “Operasi Sadar Rencong I serta “Operasi Sadar Rencong II” dari Bulan Mei 1999 sampai Mei 2000.

Kontak senjata GAM dengan TNI kembali terjadi. Warga di desa-desa mengungsi ke tempat yang mereka anggap aman. Masjid dan sekolah dijadikan titik pengungsian.

Melihat kondisi ini, perwakilan sepuluh organisasi mahasiswa Aceh pada tahun 1999 mendirikan Perhimpunan Relawan Kemanusiaan Aceh (PEMRAKA). Dan di tahun yang sama Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) juga terbentuk.

Musally bergabung dalam PEMRAKA. Dia menjadi tenaga medis di posko kesehatan pengungsian. Kegiatannya di PEMRAKA mengikuti suara hatinya untuk mengabdi kepada orang Aceh yang ditindas. PEMRAKA turut menyembunyikan keterlibatannya dengan GAM.

“Musally seorang aktivis yang aktif memperjuangkan suara demokrasi. Dia sosok yang mau berbagi pengalaman hidupnya selama aktivis,” ungkap Muhammad Daud, temannya sekaligus aktivis Pelajar Islam Indonesia.

Pada masa “Operasi Wibawa” dan “Operasi Sadar Rencong” para aktivis juga menjadi sasaran operasi. Para aktivis dianggap juga melakukan kegiatan makar. Musally menjadi salah satu target penangkapan. Namun dia kerap lolos.


“SAYA bukan penjahat, tapi dituduh sebagai penjahat. Tuhan dan hukum telah membuktikan saya tidak bersalah,” kata Musally saat disinggung soal kasus pemenjaraannya oleh pemerintah Indonesia.

Dalam persidangan, dia dituduh telah menyimpan, penyalahgunaan senjata api, bahan peledak dan melakukan tindakan makar terhadap pemerintah.

“Waktu persidangan pun pihak kejaksaan berusaha mencari bukti-bukti keterlibatan saya dengan GAM,” kisahnya.

Jalannya waktu persidangan berlangsung hingga dua tahun. Dia dituntut 20 tahun penjara, lalu akhirnya turun jadi dua tahun.

“Merasa kurang puas putusan sidang, pihak kejaksaan membuat banding. Dan saya tetap memenangkan dua tahun. Merasa kurang puas juga kejaksaan melakukan kasasi (peninjauan kembali) terhadap saya selama dua tahun,” ujarnya.

Karena tidak ada yang menjamin, pada 11 Mei 2001, Musally terpaksa menginap di kamar penampungan blok A dengan pondasi jeruji besi. Tempat itu adalah Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta.

“Keras, itulah kehidupan di penjara. Makan nasi cadong (nasi dibungkus daun pisang) tiap hari lagi,” keluhnya.

Di dalam penjara, ada sebuah rumah sakit khusus para tahanan. Kepala rumah sakit dijabat oleh Dokter Ilham. Rupanya kepala rumah sakit mengetahui Musally adalah lulusan kedokteran. Dokter Ilham meminta Musally menjadi dokter jaga di rumah sakit itu. Tawaran itu diterima Musally. Hari-harinya lebih berwarna.

“Di dalam LP saya bebas berkeliaran. Bedanya, ruang geraknya dibatasi tembok. Jadi merasa diri bukan penghuni penjara. Pagi masuk dinas, malamnya kembali lagi ke blok A,” katanya.

Namun kesedihan tetap menghampirinya. Terutama menjelang lebaran. Musally teringat istri dan anak-anaknya. Saat itu Aminah, istrinya, tinggal bersama kedua orangtuanya di Pidie Jaya.

“Bapak (Musally) orangnya terlalu sosial, sampai-sampai waktu bersama keluarga terlewatkan. Tapi kasih sayang untuk anak-anaknya begitu besar,” kisah Aminah tentang suaminya.

Pada 11 Mei 2003, batas waktu kasasi yang diajukan pihak kejaksaan kepada Musally telah jatuh tempo. Belakangan, pengadilan akhirnya memutuskan Musally tidak terbukti bersalah.

Musally menganggap Ernesto “Che” Guevara, bapak revolusi Kuba, sebagai gurunya. Dia mengetahui taktik bergerilya dari buku riwayat hidup Che. Kebetulan Che juga seorang dokter.

Suatu hari dia dipindahkan ke Seunebok, Lhokseumawe, Aceh Utara demi keselamatannya.

“Dan setelah itu berangkat ke Jakarta meninggalkan istri dan anak-anak. Status saya Pegawaian Negeri non aktif,” lanjutnya.

Di Jakarta dia bergabung dengan para aktivis Aceh lainnya. Salah seorang sahabatnya adalah almarhumah Cut Nur Asikin. Perempuan ini memimpin Srikandi Aceh, sebuah lembaga swadaya masyarakat, dan menjadi juru runding GAM pada Cessation of Hostilities Agreement (CoHa) pada Desember 2002 silam. Cut Nur meninggal di penjara Lhok Nga, ketika tsunami melanda Aceh pada Desember 2004 lalu.

Kini Musally punya klinik kesehatan dan bersalin. Namanya Atjeh Medical Center. Klinik ini berada di Desa Poroh Pangwa, Trieng Gadeng, Pidie Jaya. Desa ini jaraknya satu kilometer dari dari kota kecamatan Trieng Gadeng.

Sejumlah warga mengaku amat terbantu dengan adanya klinik Musally.

“Tidak perlu jauh-jauh membeli kebutuhan obat,” ujar Basri. Dia berjualan mie Aceh di seberang klinik.

Selain mengabdi sebagai dokter, Musally masih punya harapan tinggi. Dia berharap pemerintah Indonesia memberikan kesempatan kepada orang Aceh untuk mengurus diri mereka sendiri.

Namun, kata dia, yang tak kalah penting baginya kini, “Saya kembali kepangkuan Ibu Pertiwi, mengabdi untuk masyarakat.”

No comments: