catatan duka, 03 Oktober 2009
HARI ITU, Minggu 27 September 2009. Jalanan tak adil dengan nasib sahabat aku. Dia terhempas di sisi jalan. Ia tak menyadari langkah kakinya terhenti tuk selamanya. Kabar itu membuat telinga aku remuk. Aku menangis saat mendengar dia kecelakaan.
Nur Khalis nama sahabat aku itu. Dia kelahiran Lam Dingin, Banda Aceh, 6 Juni 1988 silam. Dia anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Muhammad Kasim dengan Alamiah.
Kedua orang tuanya telah meninggal dunia pada saat Aceh ditimpa gempa bumi dan disusul gelombang pasang air laut. Rumahnya hancur tak meninggalkan sisa. Jasad kedua orang tuanya hilang diseret arus dan tertimbun reruntuhan.
Aku menangis saat berada di dekatnya. Dia harus merelakan kaki kanannya diamputasi, setelah mobil menabraknya dari arah depan dan menggilas kakinya. Tapi, hingga kini dia tak menyadari kakinya telah diamputasi. Hati akupun ikut hancur. Aku tak rela melihatnya menderita seorang diri. Semangat dan harapannya seakan direnggut dari hidupnya. Tapi aku yakin dia tegar menerima semua ini.
“Khalis, ini abang Jufri sudah datang. Buka matanya Khalis,” pintaku.
Di kepala dan kakinya berbalut perban. Nafasnya berderu tak teratur. Sesekali dia ingin memaksakan matanya menatap aku. Tapi bola matanya tak kuasa.
“Khalis, kita ada janji. Katanya kamu ingin belajar menulis. Sekarang abang Jufri sudah datang, buka mata khalis,” pinta aku lagi.
Bola mata aku berkaca-kaca. Ucapan aku tak teratur. Dia tak mendengar ucapan aku. Tak ada reaksi saat aku meminta membukakan matanya.
Di luar teman-temannya menanti kabar. Aku menarik napas dalam-dalam. Raut wajahku menyiratkan kabar buruk.
“Bagaimana kondisi khalis,” tanya Bustami penasaran.
“Dia belum sadar,” kata aku.
Bustami menerawang ke langit-langit rumah sakit. Matanya sayu. Dia ikut menghela napas dalam-dalam.
Jarum jam telah menunjukkan angka 11 malam. Aku dan teman lainnya hanya bisa berdiam diri. Raut wajah kesedihan menghampiri kami.
Aku ingin menuntut pada tuhan. Tapi itu kehendak-Nya. Aku yakin ada hikmad di balik musibah ini.
“Ya Allah tegarkanlah sahabat aku. Aku yakin Engkau selalu ada di sisi dia,” doaku.
JUM’AT, aku merebahkan diri sambil menyalakan televisi. Tidak ada tayangan televisi yang dapat menghibur perasaan aku. Pikiran aku tak nyaman. Bayangan khalis dengan kaki yang telah diamputasi membuat aku larut dalam kesedihan.
Tanpa sengaja aku memindahkan chanel ke Metrotv.
Pada malam itu di Metro sedang ditanyangkan acara Kick Andy dengan topik “melawan nasib”.
Acara ini menceritakan orang-orang yang memegang nasib dengan keterbatasan, melawan nasib dari ketidakberdayaannya dengan usaha dan kerja keras.
Gerakan 1000 kaki palsu juga memberikan semangat baru bagi mereka. Raut kebahagian menyapa mereka.
Tapi, tidak dengan sahabat aku. Dia hanya bisa berharap dan bermimpi dalam mimpinya seorang diri. Akankah sahabat aku mendapatkannya juga? Moga saja. Amin. (+6285260255547)
5 comments:
nice blog =)
sedih sekali mas ceritanya..
moga temannya tetap semangat dengan mimpi2nya yap...
salam kenal
Hampir dua tahun sudah 'Nouroz'-ku menikmati kaki barunya. Kelihatannya ia tetap bahagia :-D
MY: Terima kasih.
Rifka Aisyah: Alhamdulillah dia orang yang tegar!!
Aliet Musim: iya, dia tetap semangat!!
blog yg menginsfirasi
Post a Comment