Aceh Feature, 7 April 2009
MULUTNYA terkatup rapat mendengar suara gegap-gempita itu. Dia menatap tajam ke depan. Sesekali dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tak berapa lama tangannya ikut mengepal lalu diacungkannya ke langit, mengikuti tindakan yang lain. Muhammad Zahlul namanya. Usia delapan tahun.
“Hidup SIRA!” pekiknya.
Sore itu, Senin 23 Maret 2009, lapangan bola kaki di desa Blang Cut dipadati ratusan simpatisan Partai SIRA. Zahlul berada di antara mereka. Bajunya putih bersih. Lambang Partai SIRA tercetak di baju itu.
“Nyoe bajee SIRA (ini baju SIRA),” katanya, sambil menarik bajunya.
“Soe joek bajee nyan (siapa kasih baju itu)? Tanyaku.
“Mak lon (ibu saya),” jawabnya .
Ya, pada hari itu Partai SIRA tengah menggelar kampanye terbukanya. SIRA singkatan dari Suara Independen Rakyat Aceh.
Muhammad Nazar penggagas partai ini. Kini dia wakil gubernur Aceh. Sebelumya SIRA adalah organisasi gerakan yang dimotori mahasiswa dengan nama Sentral Informasi Referendum Aceh. Dulu ia giat memperjuangkan isu referendum untuk Aceh.
Kesepakatan damai pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada Agustus 2005 lalu melahirkan Undang Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006 tentang pemberian kekuasaan kepada rakyat Aceh untuk berserikat dengan membentuk partai lokal. Maka pertengahan Desember 2007, SIRA menjelma organisasi politik dengan akronim yang sama.
“Dek, teupeu SIRA nyan peu (dek, tau SIRA itu apa)?” tanyaku, lagi.
“Han (tidak)!!” jawab Zahlul.
“Peu buet keunoe shit (untuk apa juga ke sini)?”
“Jak deungo ceuramah (mau dengar ceramah),” jawabnya.
Juniah duduk bersila beralaskan rumput. Dia mengenakan baju berlambang Partai SIRA. Kerudung coklat kontras dengan baju biru muda itu. Tatapannya lurus ke depan. Muhammad Zahlul adalah anaknya.
“Pakon neumee si nyak droeneuh bak kampanye SIRA (kenapa bawa anaknya di kampanye SIRA)?” tanyaku.
“Jih dilake seutot (dia minta ikut),” jawab Juniah.
“Lon lake jak keudroe (saya minta ikut sendiri),” tukas Zahlul, riang.
Di belakang panggung, Chairani Zainal Abidin dikerumuni para wartawan. Dia baru saja menyampaikan kampanye politiknya. Kilat kamera leluasa menyambar ke arahnya. Dia ketua panitia kampanye Partai SIRA pada sore itu.
Tidak ada atribut Partai SIRA melekat padanya. Dia mengenakan kerudung biru muda, warna partainya.
“Kenapa banyak anak-anak ikut serta dalam kampanye?” tanyaku pada Chairani.
“Tidak ada anak-anak yang kami libatkan. Di sekitar ini adalah kawasan padat penduduk. Barangkali anak-anak penasaran dengan keramaian. Dan kami tidak mengajak anak-anak untuk ikut serta. Kami tahu aturan, dalam politik dilarang melibatkan anak-anak,” ujarnya.
Sudah sepekan kampanye terbuka berlangsung. Anak-anak bahkan terlihat ikut serta dalam kampanye partai politik. Apakah keterlibatan anak-anak adalah bentuk pelanggaran aturan Pemilihan Umum (Pemilu)?
Undang Undang Nomor. 10 tahun 2008 pasal 84 ayat 2 tentang Pemilu menyebutkan di dalam kegiatan kampanye, Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih dilarang diikutsertakan.
Dan hal itu juga tercantum dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 tahun 2008 pasal 26 ayat 2 tentang pelaksana kampanye.
Setiap pelaksana kampanye yang melanggar larangan ini akan terkena pidana penjara paling singkat tiga bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp30 juta dan paling banyak Rp60 juta.
“Keterlibatan anak-anak dalam kampanye politik adalah pelanggaran Pemilu, dan Panwaslu akan memantaunya,” kata Abdul Salam Poroh. Dia ketua Komisi Independen Pemilihan-Aceh atau disingkat KIP Aceh
Panitia Pengawas Pemilu atau Panwaslu merupakan lembaga yang didirikan untuk menjaga agar proses pelaksanaan pemilu benar-benar sesuai dengan asas langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Panwaslu bekerja pertama kali pada Pemilu 1982 silam.
SORE itu, lewat sedikit dari pukul lima, aku tiba di muka kantor Panwaslu. Di situ aku menemui Nyak Arif Fadillah. Dia ketua Panwaslu Aceh. Arif kelahiran Aceh Selatan, 37 tahun lalu.
“Sebelumnya Panwaslu sudah memperingatkan dan menjelaskan kepada partai-partai politik yang menjadi larangan dalam kegiatan kampanye, dan Panwaslu akan menginvestigasi hasil temuan itu,” tuturnya, tegas.
Menurut Nyak Arif Fadillah, anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam kampanye politik dengan sengaja menyediakan atribut partai sesuai dengan ukuran anak-anak.
Tidak hanya Undang Undang Pemilu yang melarang keterlibatan anak-anak dalam kampanye politik, tapi tapi pasal 87 Undang-Undang Perlindungan Anak juga mencantumkan hal serupa.
Pelanggaran atas ketentuan itu akan menuai sanksi pidana penjara selama lima tahun kurungan penjara dan denda maksimal Rp100 juta.
Namun, pelaksanaannya sering terbentur hal-hal praktis.
“Lazimnya kampanye itu diadakan di lapangan terbuka dan tidak ada pengawasan khusus. Siapapun yang lewat, bahkan anak-anak pasti akan melihat kampanye itu,” tutur Fauzi Muhammad Daud Ali.
Dia ketua Kelompok Kerja Pemantau Evaluasi, Pengkajian dan Pelaporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Aceh. Komisi ini baru dibentuk di Aceh pada 7 Februari 2007.
“Dalam hal ini, apakah partai politik yang patut disalahkan? Orang tua seharusnya yang patut diarahkan. Tapi jika ada temuan mengorganisir anak untuk ikut serta dalam kampanye politik, itu adalah pelanggaran dan kami akan melaporkannya ke Panwaslu,” katanya.
Tapi pelaporan pun ada tata caranya. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2003 yang mendasari keputusan Panwaslu nomor 9 tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu. Keputusan tadi mengatur siapa yang berhak melapor, prosedur penyampaian pelaporan serta jangka waktu penyampaian pelaporan. Karena itu, keputusan ini juga menentukan formulir penerimaan laporan, formulir hasil pengkajian serta formulir penerusan laporan ke lingkungan Komisi Pemilihan Umum maupun penyidik kepolisian
“Kerja sama masyrakat sangat membantu kerja Panwaslu. Sulit untuk menindaklanjuti hasil temuan pelanggaran Pemilu jika tidak ada yang mau menjadi saksi dan tidak ada surat laporan secara resmi masuk ke Panwaslu,” kata NyakArif Fadillah.
Sampai batas usia berapa orang masih disebut anak-anak?
“Sesuai dengan Undang Undang Pemilu, umur 17 tahun ke atas sudah memiliki hak pilih, dan sudah bisa ikut serta dalam kampanye partai politik.,” katanya.
Batasan umur ini berbeda dengan Undang Undang Perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, tidak dibatasi kawin atau belum kawin.
“Itu berlaku asas lex spesialis derogad lex generalis,” tukas Arif. Artinya, peraturan khusus menyampingkan peraturan yang umum.
Kini Pemilu tinggal menghitung hari. Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu telah mendata jumlah pelibatan anak-anak selama 10 hari masa kampanye. Ada 99 kasus yang mereka terima laporannya dari Panwaslu di seluruh Indonesia, sejak 16 Maret hingga 25 Maret 2009.
No comments:
Post a Comment