Monday, February 2, 2009

Alam, Guruku

Siang hari itu, selasa 7 April 2008 riak air laut terasa membisingi suasana kesunyian. Puinging-puing bekas hempasan stunami 2004 silam meninggalkan tanah kosong sepanjang perjalanan aku.

Jalan itu hanya bisa dilalui dua mobil. Hamparan pasir pantai dan pergunungan menghimpit kedua sisi jalan itu.Ujoeng Pancu tujuan aku. Desa ini berada 15 kilo meter dari kota Banda Aceh.

Kehidupan nelayan sangat terasa dalam masyarakat desanya. Beberapa orang anak kecil sedang menjala ikan sambil bermain ria dengan air.

”Pusat Pendidikan lingkungan Ujoeng Pancu” tulisan pada plang atau papan nama itu. Balai bersekat triplek menjadi kantor dan balai-balai kecil dijadikan tempat belajar mengajar, dengan beratapkan daun rumbia.

Ya, inilah sekolah alam yang berada di antara pesisir dan pergunungan ujung pancu. Langkah anak-anak usia sekolah dengan girangnya memasuki sekolah ini. Seragam sekolah tidak melekat pada tubuh mereka sandal jepit dan sebuah buku tulis menjadi atribut siswa alam Ujoeng Pancu.

”Tanyoe beulajar di bineuh laot mantong (kita belajar di bibir pantai saja),” tawar Bustami

”Sabe belajar di alam,” rengek Muhammad Putra

Muhammada Putra tersenyum simpul ketika kamera saya arahkan padanya. Umurnya sekitar 10 tahun, kadang kala tanganya memungut sampah yang berserakan dibibir pantai. Ia siswa yayasan lamjabat pusat pendidikan lingkungan Ujoeng Pancu.

Pada siang itu, hanya tiga orang siswa yang mengikuti materi kelautan dan pelestarian hewan laut, Muhammad Putra salah satunya. Bustami, guru instruktur materi kelautan. Baju dinas tidak melekat di tubuhnya layaknya guru pengajar di pendididikan formal. Penampilannya sederhana, tas ranselnya menemani dia tiap menyampaikan materi.

”Peumantong yang udep di laot (apa saja penghuni laut itu)? Tanya bustami, sambil menunjuk arah pantai.

”Ungkot, kura-kura, penyu lagi (ikan, terumbu karang lagi) ,” jawab Muhammad Putra

”Kura-kura nggon penyu mantong saboh nek (kura-kura dengan penyu masih satu nenek),” sambung Bustami pada anak didiknya dengan menghumor.

Alam sebagai tempat belajar dan bermain, menjadi metode pembelajaran yang diterapkan Bustami. Agar siswanya bisa terbuka untuk bercerita tentang alam yang mereka amati. Hamparan pasir menjadi tempat mereka belajar dan mengajar. Akar-akar pohon menjadi tempat duduk mereka.

Di sekolah alam ini, siswa mendapatkan materi tentang pendidikan lingkungan alam yang meliputi pelestarian hutan, hewan, Laut, kesehatan lingkungan dan kreatifitas daur ulang hasil alam. Materi tentang lingkunganlah yang membedakan sekolah informal ini dengan sekolah lainnya. Namun materi yang diajarkan di sekolah forma tetap disampaikan.

Sebelum hadir sekolah alam ini, kerusakan lingkungan dari memburu kehidupan hewan di hutan dan kehidupan ikan di laut dengan menggunakan bom yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang di dasar laut.

”Tanyoe ta drop ungkot ngon bom jeut (kita mengkap ikan dengan menggunakan bom bisa? Tanya Bustami.

”Hanjeut, anteuk ungkot mate mandum, kareung lom reuleh (tidak boleh, nanti anak ikannya mati semua, terumbu karang lagi hancur),” jawab Muhammad Putra

Kerusakan alam dan kurangnya rasa kesadaran manusia untuk menjaga kelestarian alam menjadi alasan Yayasa Lamjabat mengadakan program pusat pendidikan alam

”Program pendidikan alam bertujuan mendidik anak-anak pentingnya alam bagi kehidupan,” ungkap Yahdi Isten’s, direktur yayasan.

Usia sekolah yang mengikuti sekolah alam ini dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Waktu belajarnya dimulai dari pukul 15.00 sampai pukul 17.00 WIB. Sekarang 200 siswa terdaftar sebagai anak didik di pusat pendidikan alam Ujung Pancu.

Untuk usia remaja atau siswa tingkat atas pendidikan alamnya lebih difokuskan pada training center mengenai alam. salah satunya obserfasi langsung ke habitat terumbu karang didasar laut pada hari Sabtu dan Minggu untuk belajar secara langsung bagaimana pelestarian terumbu karang itu.

Biaya pendidikan, sampai perlengkapan pendidikan berupa buku panduan tentang lingkungan didapatkan ditanggung oleh pihak yayasan. Oxfam menjadi donator dalam progaram sekolah pendidikan lingkungan alam Ujung Pancu. Dan pada Desember 2008 program pendidikan lingkungan alam akan berakhir

”Mencintai alam, menjaga kelestarian alam semoga dapat diimplimentasikan oleh siswa kami untuk menjadi motifator penggerak bagi teman serta keluarga mereka mencinta lingkuan sekitar,” harap Arnela Nur, selaku koordinator sekolah pendidikan lingkungan Yayasan Lamjabat

9 comments:

Liza Marthoenis said...

postingan terbaru yaaa,..selamat menulis aja dehh

angin-berbisik said...

wah masih muda udah jadi jurnalis nih, tapi emang tulisannya keren! sukses yaaa!

jufrizal said...

angin-berbisik :

jadi malu..!!udah mau tua ko mbak. benaran ko!!
aku bisa menulis berkat teman2 juga,

www.katobengke.com said...

ni postingan terbaru kamu yah......

aq mau bilang kamu jangan lupa kabari sahabat semuslim kitya biar mendukung agar saudara muslim kita ROHINGYA...
agar bisa tgal dinegara kita...
mereka manusia.....
mereka mahluk ciptaan tuhan...
mereka saudar kita juga.....

masichang said...

mhmhh. itu diatas bahasa aceh ya?
jadi pingin tahu bahasa aceh nih. setelah saya menguasai bahasa jawa, madura dan terakhir 3 cabang bahasa rumpun sumatera selatan. walau ngga selancar orang aslinya.

jufrizal said...

www.katobengke.com :
Insyallah. penderitaan mereka, penderitaan kita juga.

mas icang :
yoi itu bahasa aceh. boleh ko belajar, tapi gulax 1 KG jangan lupa dibawa juga sekalian.he,,he,,

QoriQorong said...

nah itu baru sekolah yang keren,,.
nice post,
salam.

Baka Kelana said...

Sama ma gw...dong

Alam gr gw juga

jufrizal said...

Qari Dekil Degil: Salam kembali. Terima kasih telah berkunjung ke blogku. Maaf baru ku baca pesannya setelah 4 tahun berlalu,he,,he,,he,,

Baka Kelana, ohya, semoga kita terus melestarikan alam. salam hangat