Siang itu, pertengahan Desember 2008, aku sempat beberapa kali mondar-mandir dengan sepeda motor di kawasan Ulee Kareng, Banda Aceh. Mata aku mengamati tiap plang atau papan nama di sepanjang sisi jalan.
“AKA Home Industry”, hanya huruf-huruf itu menjadi petunjuk aku di siang itu.
Rumah itu sederhana. Dindingnya bercat putih. Warnanya mulai kusut dimakan waktu. Aku berjalan pelan menuju rumah itu.
“Apa ini rumahnya ibu Halimah”, tanyaku pada wanita paruh baya.
“Iya, saya ibu Halimah, silakan masuk” jawabnya kembali dengan ramah.
Penampilannya sederhana. Rambutnya sudah mulai memutih. Peluh terbit dari pori-pori kulitnya. Sesekali senyumnya menyapa aku.
Aku melangkah dalam rumahnya, bungkusan-bungkusan kardus saling tindih menindih tersusun dengan rapi. Sebuah mesin penggiling berhenti “menggaung” pada sore itu.
Halima juga seorang janda. Dia berusaha keras membanting tulang untuk kebutuhan keluarganya. Sudah 18 tahun dia menjadi single perend. Munawar Yunsa nama almarhum suaminya.
Sejak meninggal suaminya, dia ibarat perahu layar bagi anak-anaknya. Dia mengarungi perjuangan hidup ini, untuk mencapai dermaga kehidupan bagi keluarganya.
Mata yang dingin. Aku menatapnya tajam. Dia tak menoleh. Suaranya serak menahan haru. Bola matanya berkaca-kaca. Dia menunjuk lurus kedepan. Aku melihat lurus kearah tangannya.
“Mesin itu bantuan Calgap. Saya bersyukur mendapat modal usaha dari Calgap. Mesin itu memutar semangat kami menata kembali ekonomi keluarga pasca tsunami,” tutur Halimah sambil menunjuk ke arah mesin penggiling itu.
Calgap adalah singkatan dari Canada-Aceh Local Government Assistance Program. Program ini didukung oleh Canadian Internasional Development Agency atau CIDA.
Tujuannya untuk mendukung rehabilitasi pasca tsunami dan rekontruksi di Aceh. Dan upaya untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk membangun perdamaian dengan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah.
Pasca tsunami 2004 silam, korban nyawa berjatuhan. Roda pemerintahan Aceh dan ekonomi masyarakat lumpuh dari aktifitasnya. banyak orang kehilangan harta benda dan mata pencahariannya.
Bantuan dari pemerintah dalam bentuk “jatah hidup” adalah ujung tombak untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Selain itu, Calgap melalui Community Support Fasility (CSF) bekerja sama dengan pemerintahan kota Banda Aceh turut membantu menata kembali perekonomian masyarakat dalam mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah atau UKM pasca tsunami 2004 silam.
Awal tahun itu, Januari 2008 silam, AKA Home Industry adalah Unit kegiatan rumah tangga yang mendapat angin segar dari program Calgap. Sebelumnya, UKM ini sempat mati suri dari aktifitas produksinya. Kekurangan modal mengakibatkan unit usaha ini jatuh bangun untuk mengembangkan usahanya.
Usaha industri rumah tangga ini, awalnya di kelola oleh Halimah bersama anak-anaknya untuk membantu penghidupan ekonomi kelurganya.
Tapi kini, sepuluh anggota aktif sudah berlabuh di dermaga AKA Home Industry. Kesemua anggotanya adalah kaum perempuan yang bermukim di Dusun Melati Ie Masen Ulee Kareng, Banda Aceh.
Halimah adalah sosok perempuan yang berperan penting lahirnya AKA Home Industry. UKM ini berdiri pada 2002 silam. Dendeng jantung pisang dan saos belimbing adalah dua andalan komuniti produksinya.
Awalnya, anggota kelompok ini merasa pesimis akan gagasan Halimah tentang industri dendeng jantung pisang dan saos belimbing. Karena produksi ini asing bagi kalangan masyarakat. Dia berusaha menyakinkan bahwa kedua produksi itu memiliki mutu di pasaran nantinya.
Dia rajin mempromosikan produknya dengan cara mengikuti acara pameran produk hasil Usaha Kecil dan Menengah atau UKM di tingkat daerah dan nasional. Ternyata, jantung pisang dan saos belimbing menjadi unggulan dalam acara itu.
Tapi, kini berkat kerja keras Halimah. Ia telah mampu menciptakan lapangan kerja bersama bagi kaum perempuan dalam membantu perekonomian di dusunnya itu.
“Alhamdulillah dengan usaha ini, kami memiliki kelompok usaha sendiri. Dan ini sangat membantu perekonomian keluarga,” tutur Cacakee Rinunatee Yunsa. Dia adalah anggota AKA Home Industry.
“tuk..tuk..tuk..,” batu itu saling bertumbukan dengan tongkat dari kayu. Tangannya tak kuasa menahan paksaan bergerak naik turun sambil mencengkaram kuat tongkat itu. Peluh keluar di sekujur kulitnya.
Ya, sebelum mendapat bantuan dari calgap. Halimah bersama kawan-kawannya, menggunakan alat penumbuk dari batu untuk menumbuk dendang jantung pisang dan belimbing.
“dulunya, kami menumbuknya dengan alat penumbuk dari batu,” kisahnya pada aku.
Keterbatasan alat juga ikut membuat kuantitas produksinya tidak sebanding dengan permintaan konsumen.
Dengan dukungan alat yang semakin memadai, kini usahanya terus berkembang. Pemasaran pun kini telah merambah pasaran lokal dan internasional.
“Kami mencoba mempromosikan ke negara tetangga, dengan memamfaatkan kehadiran lembaga asing di Aceh,” ungkap Halimah.
Halimah juga berkeinginan untuk menjadi trainer bagi masyarakat Aceh, khususnya kaum perempuan. Dengan ini nantinya mereka bisa membantu menutupi kebutuhan keluarganya masing-masing.
“Saya ingin orang Aceh berkembang di bidang pemberdayaan ekonominya” harapnya dengan semangat.
Saturday, February 21, 2009
Wednesday, February 11, 2009
Aku dan Butut Si Rini
Sore itu, sabtu, 8 oktober 2008, ratapan sepeda motor butut itu menyapa aku. Sepeda motor itu rasanya ingin menjerit meratapi nasibnya. Tak ada perawatan baginya. Sesekali ratapannya terdenger nyaring.
“ktuk…ktuk…ktuk…,” suara ratapan sepeda motor itu menyapa aku. Spad boot belakangnya bergetar kencang menahan beban. Dari belakang Spad boot itu bagaikan ekor bebek di timpa beban yang maha berat.
Ya, sepeda motor butut itu dikenderai oleh wanita muda dengan postur tubuh bongsor. Sesekali senyumnya mendarat kearah aku. Tak luput kacamata minusnya menyorotku dengan tajam.
Zulfarini nama sejatinya. Dia wanita kelahiran Banda Aceh pada 18 Juni 1987 silam. anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Zulfikar, dengan Suwarni.
Masa kecilnya dihabiskan di kampung kelahirannya. Sedari kecil dia telah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mandiri dan menghargai waktu. Agenda kegiatan sehari-hari telah ia catat di dalam buku hariannya. Dari waktu belajar sampai bermain.
berbeda dengan penampilan anak perempuan lainnya. Nyaman dengan gaun mekar bak putri raja, rambut berponi kuda bertemankan boneka-boneka barby. Hal itu jauh dari masa kecil Zulfarini. Anak perempuan tomboy menjadi identitasnya waktu kecil.
“Aku dulunya waktu kecil tomboy lho,” ungkap dia dengan gelak tawa penuh kebanggaan.
Namun, perempuan kecil itu, dia yang hadir di depan saya di hari tersebut berpenampilan modis ibarat sang putri raja, suatu hari di bulan Oktober 2008. Dua puluh satu tahun usianya kini.
Dia juga terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam atau KPI di Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Banda Aceh.
Awalnya, batinnya meronta mendengar Ia lulus di Fakultas Dakwah. Harapan untuk menjadi pakar hukum, kandas telak di tangan fakultas dakwah.
“Welkom the Dakwah Faculty”. Kaku darah dan ngilu dia mendenger Fakultas dakwah akan jadi bagian dari hidupnya.
“aku akan jadi daiyah, tidak…!!,” meratapi nasibnya ketika itu, bagai di sambar petir melihat ketidak lulusannya di Universitas Syiah Kuala atau UNSYIAH. menjadi pakar hukum kelaknya pupus sudah.
“Gosong sudah harapan aku,” ratapnya kembali dengan penuh pasrah.
Gusar, takut, asing, bercampur gundah menjadi malaikat maut yang sewaktu-waktu akan menyapanya dengan kasar.
Pada pertengahan bulan Juni 2005, namanya telah tersenyum lebar di bagian akademik Fakultas Dakwah. Namun berbeda dengan Zurfarini, mukanya murung melihat namanya melekat kuat di absensi. Dia masih mengambang dalam mimpi tak bertuan.
Hari, bulan dan tahun terasa berjalan lamban. Tapi itu mengajari dia untuk beradaptasi dengan bumi baru dalam hidupnya.
Memasuki semester kedua. Dia telah menerima kenyataan. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam atau KPI telah menjadi bagian dari hidupnya.
“Ternyata, teman-teman aku luar biasa di KPI. Mereka memberi arti makna persahabatn,” ceritanya dengan terharu.
Teman-temannya menilai sosok Zulfarini adalah orang yang berperangai baik hati, walaupun sesekali dia membuat lawan bicaranya kesal.
“Baik kali dia itu, sampai-sampai aku pingin tonjokin dia. Badannya yang lebar itu membuat aku jadi gak kuasa tonjokin dia,” ucap Nur khalis sambil gigit gigi.
Kini ada sebuah makna kehidupan bagi Zurfarini yang menjadikannya tegar dalam kehidupan. “apa yang kita pikirkan itulah kita. Bila kita berpikir kita akan berhasil, maka kita akan berhasil,” katanya dengan puitis.
“ktuk…ktuk…ktuk…,” suara ratapan sepeda motor itu menyapa aku. Spad boot belakangnya bergetar kencang menahan beban. Dari belakang Spad boot itu bagaikan ekor bebek di timpa beban yang maha berat.
Ya, sepeda motor butut itu dikenderai oleh wanita muda dengan postur tubuh bongsor. Sesekali senyumnya mendarat kearah aku. Tak luput kacamata minusnya menyorotku dengan tajam.
Zulfarini nama sejatinya. Dia wanita kelahiran Banda Aceh pada 18 Juni 1987 silam. anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Zulfikar, dengan Suwarni.
Masa kecilnya dihabiskan di kampung kelahirannya. Sedari kecil dia telah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mandiri dan menghargai waktu. Agenda kegiatan sehari-hari telah ia catat di dalam buku hariannya. Dari waktu belajar sampai bermain.
berbeda dengan penampilan anak perempuan lainnya. Nyaman dengan gaun mekar bak putri raja, rambut berponi kuda bertemankan boneka-boneka barby. Hal itu jauh dari masa kecil Zulfarini. Anak perempuan tomboy menjadi identitasnya waktu kecil.
“Aku dulunya waktu kecil tomboy lho,” ungkap dia dengan gelak tawa penuh kebanggaan.
Namun, perempuan kecil itu, dia yang hadir di depan saya di hari tersebut berpenampilan modis ibarat sang putri raja, suatu hari di bulan Oktober 2008. Dua puluh satu tahun usianya kini.
Dia juga terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam atau KPI di Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Banda Aceh.
Awalnya, batinnya meronta mendengar Ia lulus di Fakultas Dakwah. Harapan untuk menjadi pakar hukum, kandas telak di tangan fakultas dakwah.
“Welkom the Dakwah Faculty”. Kaku darah dan ngilu dia mendenger Fakultas dakwah akan jadi bagian dari hidupnya.
“aku akan jadi daiyah, tidak…!!,” meratapi nasibnya ketika itu, bagai di sambar petir melihat ketidak lulusannya di Universitas Syiah Kuala atau UNSYIAH. menjadi pakar hukum kelaknya pupus sudah.
“Gosong sudah harapan aku,” ratapnya kembali dengan penuh pasrah.
Gusar, takut, asing, bercampur gundah menjadi malaikat maut yang sewaktu-waktu akan menyapanya dengan kasar.
Pada pertengahan bulan Juni 2005, namanya telah tersenyum lebar di bagian akademik Fakultas Dakwah. Namun berbeda dengan Zurfarini, mukanya murung melihat namanya melekat kuat di absensi. Dia masih mengambang dalam mimpi tak bertuan.
Hari, bulan dan tahun terasa berjalan lamban. Tapi itu mengajari dia untuk beradaptasi dengan bumi baru dalam hidupnya.
Memasuki semester kedua. Dia telah menerima kenyataan. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam atau KPI telah menjadi bagian dari hidupnya.
“Ternyata, teman-teman aku luar biasa di KPI. Mereka memberi arti makna persahabatn,” ceritanya dengan terharu.
Teman-temannya menilai sosok Zulfarini adalah orang yang berperangai baik hati, walaupun sesekali dia membuat lawan bicaranya kesal.
“Baik kali dia itu, sampai-sampai aku pingin tonjokin dia. Badannya yang lebar itu membuat aku jadi gak kuasa tonjokin dia,” ucap Nur khalis sambil gigit gigi.
Kini ada sebuah makna kehidupan bagi Zurfarini yang menjadikannya tegar dalam kehidupan. “apa yang kita pikirkan itulah kita. Bila kita berpikir kita akan berhasil, maka kita akan berhasil,” katanya dengan puitis.
Monday, February 2, 2009
Alam, Guruku
Siang hari itu, selasa 7 April 2008 riak air laut terasa membisingi suasana kesunyian. Puinging-puing bekas hempasan stunami 2004 silam meninggalkan tanah kosong sepanjang perjalanan aku.
Jalan itu hanya bisa dilalui dua mobil. Hamparan pasir pantai dan pergunungan menghimpit kedua sisi jalan itu.Ujoeng Pancu tujuan aku. Desa ini berada 15 kilo meter dari kota Banda Aceh.
Kehidupan nelayan sangat terasa dalam masyarakat desanya. Beberapa orang anak kecil sedang menjala ikan sambil bermain ria dengan air.
”Pusat Pendidikan lingkungan Ujoeng Pancu” tulisan pada plang atau papan nama itu. Balai bersekat triplek menjadi kantor dan balai-balai kecil dijadikan tempat belajar mengajar, dengan beratapkan daun rumbia.
Ya, inilah sekolah alam yang berada di antara pesisir dan pergunungan ujung pancu. Langkah anak-anak usia sekolah dengan girangnya memasuki sekolah ini. Seragam sekolah tidak melekat pada tubuh mereka sandal jepit dan sebuah buku tulis menjadi atribut siswa alam Ujoeng Pancu.
”Tanyoe beulajar di bineuh laot mantong (kita belajar di bibir pantai saja),” tawar Bustami
”Sabe belajar di alam,” rengek Muhammad Putra
Muhammada Putra tersenyum simpul ketika kamera saya arahkan padanya. Umurnya sekitar 10 tahun, kadang kala tanganya memungut sampah yang berserakan dibibir pantai. Ia siswa yayasan lamjabat pusat pendidikan lingkungan Ujoeng Pancu.
Pada siang itu, hanya tiga orang siswa yang mengikuti materi kelautan dan pelestarian hewan laut, Muhammad Putra salah satunya. Bustami, guru instruktur materi kelautan. Baju dinas tidak melekat di tubuhnya layaknya guru pengajar di pendididikan formal. Penampilannya sederhana, tas ranselnya menemani dia tiap menyampaikan materi.
”Peumantong yang udep di laot (apa saja penghuni laut itu)? Tanya bustami, sambil menunjuk arah pantai.
”Ungkot, kura-kura, penyu lagi (ikan, terumbu karang lagi) ,” jawab Muhammad Putra
”Kura-kura nggon penyu mantong saboh nek (kura-kura dengan penyu masih satu nenek),” sambung Bustami pada anak didiknya dengan menghumor.
Alam sebagai tempat belajar dan bermain, menjadi metode pembelajaran yang diterapkan Bustami. Agar siswanya bisa terbuka untuk bercerita tentang alam yang mereka amati. Hamparan pasir menjadi tempat mereka belajar dan mengajar. Akar-akar pohon menjadi tempat duduk mereka.
Di sekolah alam ini, siswa mendapatkan materi tentang pendidikan lingkungan alam yang meliputi pelestarian hutan, hewan, Laut, kesehatan lingkungan dan kreatifitas daur ulang hasil alam. Materi tentang lingkunganlah yang membedakan sekolah informal ini dengan sekolah lainnya. Namun materi yang diajarkan di sekolah forma tetap disampaikan.
Sebelum hadir sekolah alam ini, kerusakan lingkungan dari memburu kehidupan hewan di hutan dan kehidupan ikan di laut dengan menggunakan bom yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang di dasar laut.
”Tanyoe ta drop ungkot ngon bom jeut (kita mengkap ikan dengan menggunakan bom bisa? Tanya Bustami.
”Hanjeut, anteuk ungkot mate mandum, kareung lom reuleh (tidak boleh, nanti anak ikannya mati semua, terumbu karang lagi hancur),” jawab Muhammad Putra
Kerusakan alam dan kurangnya rasa kesadaran manusia untuk menjaga kelestarian alam menjadi alasan Yayasa Lamjabat mengadakan program pusat pendidikan alam
”Program pendidikan alam bertujuan mendidik anak-anak pentingnya alam bagi kehidupan,” ungkap Yahdi Isten’s, direktur yayasan.
Usia sekolah yang mengikuti sekolah alam ini dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Waktu belajarnya dimulai dari pukul 15.00 sampai pukul 17.00 WIB. Sekarang 200 siswa terdaftar sebagai anak didik di pusat pendidikan alam Ujung Pancu.
Untuk usia remaja atau siswa tingkat atas pendidikan alamnya lebih difokuskan pada training center mengenai alam. salah satunya obserfasi langsung ke habitat terumbu karang didasar laut pada hari Sabtu dan Minggu untuk belajar secara langsung bagaimana pelestarian terumbu karang itu.
Biaya pendidikan, sampai perlengkapan pendidikan berupa buku panduan tentang lingkungan didapatkan ditanggung oleh pihak yayasan. Oxfam menjadi donator dalam progaram sekolah pendidikan lingkungan alam Ujung Pancu. Dan pada Desember 2008 program pendidikan lingkungan alam akan berakhir
”Mencintai alam, menjaga kelestarian alam semoga dapat diimplimentasikan oleh siswa kami untuk menjadi motifator penggerak bagi teman serta keluarga mereka mencinta lingkuan sekitar,” harap Arnela Nur, selaku koordinator sekolah pendidikan lingkungan Yayasan Lamjabat
Jalan itu hanya bisa dilalui dua mobil. Hamparan pasir pantai dan pergunungan menghimpit kedua sisi jalan itu.Ujoeng Pancu tujuan aku. Desa ini berada 15 kilo meter dari kota Banda Aceh.
Kehidupan nelayan sangat terasa dalam masyarakat desanya. Beberapa orang anak kecil sedang menjala ikan sambil bermain ria dengan air.
”Pusat Pendidikan lingkungan Ujoeng Pancu” tulisan pada plang atau papan nama itu. Balai bersekat triplek menjadi kantor dan balai-balai kecil dijadikan tempat belajar mengajar, dengan beratapkan daun rumbia.
Ya, inilah sekolah alam yang berada di antara pesisir dan pergunungan ujung pancu. Langkah anak-anak usia sekolah dengan girangnya memasuki sekolah ini. Seragam sekolah tidak melekat pada tubuh mereka sandal jepit dan sebuah buku tulis menjadi atribut siswa alam Ujoeng Pancu.
”Tanyoe beulajar di bineuh laot mantong (kita belajar di bibir pantai saja),” tawar Bustami
”Sabe belajar di alam,” rengek Muhammad Putra
Muhammada Putra tersenyum simpul ketika kamera saya arahkan padanya. Umurnya sekitar 10 tahun, kadang kala tanganya memungut sampah yang berserakan dibibir pantai. Ia siswa yayasan lamjabat pusat pendidikan lingkungan Ujoeng Pancu.
Pada siang itu, hanya tiga orang siswa yang mengikuti materi kelautan dan pelestarian hewan laut, Muhammad Putra salah satunya. Bustami, guru instruktur materi kelautan. Baju dinas tidak melekat di tubuhnya layaknya guru pengajar di pendididikan formal. Penampilannya sederhana, tas ranselnya menemani dia tiap menyampaikan materi.
”Peumantong yang udep di laot (apa saja penghuni laut itu)? Tanya bustami, sambil menunjuk arah pantai.
”Ungkot, kura-kura, penyu lagi (ikan, terumbu karang lagi) ,” jawab Muhammad Putra
”Kura-kura nggon penyu mantong saboh nek (kura-kura dengan penyu masih satu nenek),” sambung Bustami pada anak didiknya dengan menghumor.
Alam sebagai tempat belajar dan bermain, menjadi metode pembelajaran yang diterapkan Bustami. Agar siswanya bisa terbuka untuk bercerita tentang alam yang mereka amati. Hamparan pasir menjadi tempat mereka belajar dan mengajar. Akar-akar pohon menjadi tempat duduk mereka.
Di sekolah alam ini, siswa mendapatkan materi tentang pendidikan lingkungan alam yang meliputi pelestarian hutan, hewan, Laut, kesehatan lingkungan dan kreatifitas daur ulang hasil alam. Materi tentang lingkunganlah yang membedakan sekolah informal ini dengan sekolah lainnya. Namun materi yang diajarkan di sekolah forma tetap disampaikan.
Sebelum hadir sekolah alam ini, kerusakan lingkungan dari memburu kehidupan hewan di hutan dan kehidupan ikan di laut dengan menggunakan bom yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang di dasar laut.
”Tanyoe ta drop ungkot ngon bom jeut (kita mengkap ikan dengan menggunakan bom bisa? Tanya Bustami.
”Hanjeut, anteuk ungkot mate mandum, kareung lom reuleh (tidak boleh, nanti anak ikannya mati semua, terumbu karang lagi hancur),” jawab Muhammad Putra
Kerusakan alam dan kurangnya rasa kesadaran manusia untuk menjaga kelestarian alam menjadi alasan Yayasa Lamjabat mengadakan program pusat pendidikan alam
”Program pendidikan alam bertujuan mendidik anak-anak pentingnya alam bagi kehidupan,” ungkap Yahdi Isten’s, direktur yayasan.
Usia sekolah yang mengikuti sekolah alam ini dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Waktu belajarnya dimulai dari pukul 15.00 sampai pukul 17.00 WIB. Sekarang 200 siswa terdaftar sebagai anak didik di pusat pendidikan alam Ujung Pancu.
Untuk usia remaja atau siswa tingkat atas pendidikan alamnya lebih difokuskan pada training center mengenai alam. salah satunya obserfasi langsung ke habitat terumbu karang didasar laut pada hari Sabtu dan Minggu untuk belajar secara langsung bagaimana pelestarian terumbu karang itu.
Biaya pendidikan, sampai perlengkapan pendidikan berupa buku panduan tentang lingkungan didapatkan ditanggung oleh pihak yayasan. Oxfam menjadi donator dalam progaram sekolah pendidikan lingkungan alam Ujung Pancu. Dan pada Desember 2008 program pendidikan lingkungan alam akan berakhir
”Mencintai alam, menjaga kelestarian alam semoga dapat diimplimentasikan oleh siswa kami untuk menjadi motifator penggerak bagi teman serta keluarga mereka mencinta lingkuan sekitar,” harap Arnela Nur, selaku koordinator sekolah pendidikan lingkungan Yayasan Lamjabat
Subscribe to:
Posts (Atom)