Thursday, April 3, 2008

PARA


pantau, 29 maret 2008

SIANG Senin itu, 17 Maret 2008, saya sempat beberapa kali mondar-mandir dengan sepeda motor di jalan Sri Ratu Safiatuddin, Peunayong, Banda Aceh. Mata saya mengamati tiap plang atau papan nama di sepanjang sisi jalan.

PARA”, hanya huruf-huruf itu yang terpampang di penunjuk arah. Sekitar 20 meter dari situ, berjajar rumah-rumah toko atau ruko.

Ruko tersebut berlantai dua. Di ruang muka, di lantai bawah, hanya ada seperangkat meja dan kursi tamu. Tak terlihat lemari atau brankas dalam ruangan, seperti layaknya sebuah kantor. Ketika saya mengucap salam, terdengar balasan dari lantai atas.
Suasana kantor cukup terasa di lantai ini. Kliping-kliping suratkabar lokal dan nasional ditempel di papan informasi. Di papan yang sama juga ditempel sehelai kertas yang berisi bait-bait mirip puisi, yang ternyata mars PARA atau Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan.

Perempuan bukan sekedar pelengkap
Tapi ia juga pejuang
Perempuan bukan hanya sekedar nama
Ia harus ikut menentukan kejayaan
Negaranya

Jangan abaikan suara perempuan
Dalam percaturan politik bangsa
Perempuan itu tiang negara
Beri kesempatan yang sama


Nurjannah menyambut kedatangan saya. Penampilannya sederhana, umurnya sekitar 40-an. Logat Acehnya kental ketika bicara bahasa Indonesia. Ia sekrertaris jenderal Dewan Pimpinan Pusat PARA. Ia mantan Kepala Pemberdayaan Perempuan di pemerintahan kabupaten Pidie. Nurjannah tertarik bergabung dengan PARA, karena menyaksikan bahwa kaum perempuan masih terpinggirkan di dunia politik.


”Keterlibatan perempuan dalam politik sangat minim dibandingkan dengan kaum laki-laki. Karena itu pengurus PARA, 70 persen didominasi kaum hawa dan 30 persen kaum adam,” tuturnya.

Zulhafah Luthfi, Ketua Umum PARA, yang saya tunggu sedari tadi akhirnya muncul. Kerudung warna mirabella atau merah jambu pekat menutupi kepalanya, membingkai wajah bulatnya. Zulhafah kelahiran Lhokseumawe, hampir 57 tahun silam. Ia memiliki tiga anak; satu laki-laki, dua perempuan. Sebagaimana suaminya, Luthfi Helmi, ia juga seorang dokter.


Menurut Zulhafah, PARA peduli terhadap masalah dalam keluarga, pendidikan, trauma psikologi pascakonflik serta pascatsunami, dan pelestarian budaya Aceh.

’’PARA bukan hanya memikirkan permasalahan perempuan, tapi permasalahan yang dihadapi keseluruhan masyarakat Aceh,” ujarnya.

Sekarang PARA punya cabang di 14 kabupaten dan kota, dan di 57 kecamatan yang tersebar di seluruh Aceh.

Kini proses verifikasi PARA oleh kantor wilayah departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Aceh memasuki tahap akhir, yakni peninjauan akan keberadaan PARA di setiap kabupaten atau kota di Aceh. Bila lulus, maka PARA berhak memeriahkan pemilihan umum legislatif di Aceh tahun depan.

Kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada Agustus 2005 lalu telah melahirkan Undang Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006 atau populer disebut UU PA. Pasal sebelas undang-undang ini menjelaskan bahwa masyarakat Aceh diberi keleluasan dalam berserikat dengan membentuk partai lokal. Aceh pun jadi provinsi pertama yang diberikan kebebasan oleh pemerintah untuk mendirikan partai lokal.

PARA lahir dari legitimasi tersebut dan mengusung empat misi. Misi itu meliputi pemberdayaan perempuan di segala bidang, pendidikan politik untuk perempuan, penyadaran dan advokasi terhadap hak-hak politik perempuan, dan mewujudkan keterwakilan perempuan di lembaga terendah maupun tertinggi dalam posisi penentu serta pengambil keputusan.

Partai ini dideklarasikan pada 20 Mei 2007, setelah para pendirinya sepakat menunjuk Zulhafah Luthfi sebagai ketua umum.

Oh, ya, dengan partai nasional mana PARA akan bersanding untuk memperoleh kursi di parlemen pusat nanti?

”Sejauh ini belum ada, PARA hanya ingin menyampaikan aspirasi perempuan, khususnya perempuan Aceh. PARA tidak menginginkan jabatan,” kata Zulhafah.

Namun, Agus Miati Khatijah, Ketua Dewan Perwakilan Daerah PARA Aceh Besar, punya jawaban yang lebih tegas lagi tentang partai nasional.

”Saya sudah kapok membantu partai-partai nasional dulunya. Mereka sudah memiliki kekuasaan. Cita-cita atau janji yang disampaikan kandas begitu saja,” katanya, dalam sebuah wawancara dengan saya.

Namun, belum banyak perempuan Aceh yang mengetahui keberadaan PARA.

PARA, peu partai nyan (partai apa itu)? tanya Fatmayani, seorang warga Meureudu, Pidie Jaya.

Nyoe kana partai perempuan, tapileh partai perempuan mantong (kalau sudah ada partai perempuan, milih partai perempuan saja),” lanjutnya, tersenyum.

Di sebuah warung kopi yang berada di pinggir jalan Dayah U Paneuk, Meureudu, ramai anak muda minum kopi sambil membaca koran. Zainuddin Umar Yusuf, termasuk di antara mereka itu. Ia sibuk menyimak lembaran-lembaran koran yang berserak di atas meja. Perawakannya kecil. Puntung rokoknya yang hampir jatuh tak disadarinya, karena terlalu asyik membaca.

Get that nyan meunyoe kana partai perempuan, tinggai geutanyoe ureung agam ta peudong partai ureng agam (Bagus kali kalau sudah berdiri partai perempuan, tinggal kita kaum laki mendirikan partai lelaki),” ujarnya, tertawa.