LintasNol edisi I/ 26 Sep-10 Okt/ Tahun 1/ 2007
Usaha pemerintah untuk membangun kembali sektor pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) seakan belum mencapai target memuaskan.. Hal ini seakan luput dari perhatian pemerintah. Banyaknya anak jalanan, membuktikan lemahnya perhatian lembaga pemerintahan dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di Aceh. Sehingga mereka lebih memilih jalan hidup sendiri dengan berkeliaran di jalanan untuk menggais rezeki.
Menurut catatan Dinas Sosial Propinsi Naggroe AcehDarussalam, di tahun 2004 jumlah anak terlantar mencapai 5000 jiwa. Hal itu disebabkan berbagai faktor, antara lain kehilangan orang tua atau terpisah dengan kelurga, atau bahkan ada pula yang trauma karena kekerasan. Ribuan anak terlantar ini berada dalam situasi stres, trauma fisik dan mental. Banyak di antaranya yang tidak dapat mengikuti pendidikan di berbagai sekolah di Aceh.
Dinas Sosial yang berperan aktif mengatasi permasalahan anak terlantar dalam hal ini berupaya agar anak jalanan yang masih usia sekolah, bisa melanjutkan pendidikan sesuai dengan tingkat jenjang pendidikannya. “Walaupun kemampuan Dinas Sosial terbatas, namun kami berupaya semaksimal mungkin untuk mendata anak-anak jalanan. Ini sebagai upaya untuk menampung anak jalanan di perpantian dengan memberikan pelayanan kesehatan, ekonomi dan pendidikan, baik formal maupun nonfolmal,” ungkap Ilyas, wakil Dinas Sosial NAD.
Ilyas menambahkan, meningkatnya jumlah anak jalanan di Kota Banda Aceh pasca tsunami, diperparah dengan kondisi sosial ekonomi yang masih tertinggal di tingkat pedesaan. Sehingga mereka (anak jalanan-red) terpaksa menadahkan tangan untuk memenuhi kehidupan ekonomi.
Namun pada saat disinggung tentang masih adanya anak-anak jalanan yang tidak terdata oleh Dinas Sosial, sehingga mereka tidak mendapat sarana pendidikan yang layak dari pemerintah. Wakil Kepala Dinas Sosial berkilah, bahwa selama ini pihaknya telah melakukan razia terhadap anak jalanan untuk dipantikan. “Sebenarnya permasalahan demikian ada pada anak jalanan itu sendiri. Pihak Dinas Sosial bekerja sama dengan Dinas Perkotaan, pernah melakukan razia terhadap anak-anak jalanan. Dengan maksud anak jalanan yang terjaring dalam razia akan dipantikan agar mendapat pendidikan yang layak. Namun mereka terkesan menghindar pada saat dilakukan razia,” tegasnya.
Dalam perundang-undangan Negara Republik
Serta dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002, pasal 9 ayat 1 juga disebutkan tentang hak dan kewajiban anak. “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”
Dan ayat 2 “khusus bagi anak yang penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa. Sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapat pendidikan khusus.
Untuk menjaga dan menjalankan peraturan yang telah diamanatkan sesuai dengan UUD 1945 dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindunagn anak, maka Negara dan pemerintah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan amanat UU ini membentuk sebuah Lembaga Negara yakni Dinas Sosial (Dinsos).
Sementara itu, Ketua penanganan masalah anak jalanan Dinas Sosial NAD, Mahdani mengemukakan, anak jalanan yang tidak mau di pantikan mereka hanya diberikan melakukan kerja sama dengan Japan International Cooperatiaon Syestems (JICS) untuk mendirikan rumah sejahtera anak jalanan,” ungkapnya.***(bantuan berupa perlengkapan sekolah. Pihak Dinas Sosial bekerjasama dengan pusat kajian perlindungan anak, yayasan anak bangsa serta International Labour Organization (ILO) telah melakukan pendataan anak-anak jalanan di seluruh Aceh, untuk memastikan apakah mereka yang menerima bantuan ini benarbenar melanjutkan sekolah apa tidak.
Mahdani menambahkan, Dinas Sosial melakukan berbagai upaya untuk menangani masalah anak jalanan. “Kami telah berusaha semampu kami. Selain itu, kami juga melakukan kerja sama Japan Internasional Cooperatiaon Syestems (JICS) untuk mendirikan rumah sejahtera anak ” ungkapnya.
No comments:
Post a Comment