Aceh Feature, 15 September 2008
“WAJAR PDA kurang populer, karena kekuatan publikasi yang tidak mendukung. Dan ini menyangkut keterbatasan dana,” kilah Tengku Ali Imran.
Jumat siang, 25 juli 2008, saya menjumpai lelaki ini di sebuah restoran di Banda Aceh. Penampilannya sama sekali tidak mirip politisi. Dengan kemeja batik coklat itu, dia lebih mirip pengusaha. Dia adalah ketua harian PDA, singkatan dari Partai Daulat Aceh. Partai yang dia pimpin lolos sebagai peserta pemilihan umum (pemilu) legislatif tahun 2009 di Aceh.
Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh memutuskan enam partai lokal yang akan ikut pemilu 2009 mendatang. Keenam partai itu adalah Partai Bersatu Atjeh (PBA), Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Aceh (PA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Daulat Aceh (PDA).
“Empat puluh partai politik akan mengikuti pemilu di Aceh. Itu terjadi karena ada penambahan enam partai lokal,” ujar, Abdul Salam Poroh. Dia adalah ketua KIP Aceh.
Secara nasional, di kertas suara hanya tercantum 34 partai politik peserta pemilu 2009. Tetapi, keehadiran partai lokal membuat kertas suara untuk pemilu 2009 di Aceh berbeda dengan daerah lain.
PDA telah menargetkan mayoritas basis suaranya meliputi Banda Aceh, Takengon (Aceh Tengah), Bener Meriah dan Aceh Barat. Bagi partai ini,
PDA didekralasikan pada 1 Februari 2008 di Banda Aceh. Deklarasi tersebut dihadiri 125 ulama Aceh. Di antaranya Tengku Haji Hasanul Basri atau lebih dikenal di kalangan dayah dengan nama Abu Mudi Mesjid Raya, dan Tengku Haji Muhammad Nasir Wali. Mereka berdua menjabat sebagai ketua dan wakil ketua mustayar.
Struktur PDA terbagi dalam tiga dewan. Dewam nashihin dan dewan mustayar merupakan badan yang mengambil kebijakan dan keputusan. Kedua dewan ini berisi ulama-ulama Aceh. Dewan ketiga adalah dewan tanfiziyah, yaitu pelaksana dari kebijakan dewan nashihin dan dewan mustayar.
Ketua umum dewan tanfiziyah adalah Tengku Harmen Nuriqmar. Dia juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dari Partai Bintang Reformasi.
“Kejayaan Aceh ada pada tangan ulama, PDA ingin membawa kejayaan Aceh tempo dulu melalui tangan ulama,” kata Tengku Harmen Nuriqmar.
Sebelum PDA terbentuk, sejumlah ulama, santri, politisi partai nasional, dan warga biasa bergabung dalam lembaga kajian masyarakat yang dinamai Forum Daulat Aceh atau FDA. Forum ini melakukan diskusi tentang Islam dan mengadakan pelatihan. Selain itu, ia juga bergerak di bidang kajian tentang partai politik nasional. Hasil kajian itu ikut mendorong FDA mengubah dirinya menjadi partai.
“Kami tidak menemukan partai politik berazaskan Islam Mahzab Syafi’i serta menempatkan ulama sebagai remote control dalam mengambil keputusan dan UU PA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) menjadi inspirator kami untuk mendirikan PDA,” kata Tengku Ali Imran.
“Tapi dengan politiklah kita dapat membuat perubahan, khususnya dalam bidang pendidikan. Satu-satunya yang peduli akan pendidikan dayah adalah PDA, makanya saya bergabung dalam partai ini,” ujarnya.
Jumat siang, 5 September 2008, umbul-umbul dan bendera partai lokal telah berkibar di pusat keramaian dan tepi jalan di Aceh. Bendera PDA ikut menghias jalan raya Banda Aceh-Medan, di sekitar kantor sekretariat partai. Di kabupaten Pidie Jaya, saya melihat hanya
“Publikasi menyangkut dengan PDA mesti ada persetujuan dari dewan mustayar atau pemimpin pusat, dan mungkin kita punya trik tersendiri untuk memajukan partai PDA kepada masyarakat Aceh nantinya,” kata Muhammad Rizal Bin Muhammad Diah. Dia adalah ketua dewan perwakilan sagoe Meureudu. Sagoe setingkat dengan kecamatan.
Fauzi Muhammad Daud, salah seorang warga Pidie Jaya yang saya temui mengatakan bahwa sosialisasi tentang PDA juga kurang di media massa. Selain itu, “Figur PDA terasa ditelan bumi oleh kepopuleran figur partai lokal lainnya,” ujar salah seorang pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia cabang Pidie Jaya ini
Ada yang menganggap keterlibatan ulama akan membuat partai lebih bersih dari korupsi dan mementingkan umat. Tapi ada juga yang pesimistis.
“Asai kameupertei pasti peurlee jabatan, ulama jinoe haba jeut ta deungo, tapi buet hana teuntee lom (kalau sudah berpartai pasti mau jabatan, ulama sekarang nasehatnya bisa kita denger, tapi prilakunya belum tentu seperti itu),” kata Nurhayati pada saya. Dia seorang guru sekolah dasar di Meureudu.