Tulisan opini saya berjudul “Hukum Islam di Aceh”
baru saja diterbitkan media lokal di Aceh. Opini saya menyorot tentang
kepentingan politik dan agama berkenaan Hukum Jinayah.
Jinayah merupakan bentuk dari verbal noun (masdar)
dari kata jana. Secara etimologi, jana berarti berbuat dosa atau salah,
sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah
(Ma’luf,1945:88). Kata jinayah dalam istilah hukum adalah sering disebut dengan
delik atau tindak pidana. Jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh
syara` karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan dan akal.
Saya merasa opini itu cukup menampar muka para politisi yang mendewakan syariat Islam di
Aceh untuk kepentingan partai politik. Sebelum saya menulis opini tersebut, saya sempat
membaca laporan berita di situs http://www.voaindonesia.com/ edisi, 31 Juli 2011 dengan
judul “Islam Seiring dengan Demokrasi, Namun Sering Disalahgunakan
Demi Kepentingan Politik”. Saya merasa berita
itu sangat menarik dan sangat mencerdaskan pembaca tentang kepentingan politik
dibalik agama.
Dalam laporan itu ada mengutip
pernyataan Dr. Laith Kubba – Direktur National Endowment for
Democracy. Laith Kubba
mengatakan, politisi menggunakan agama dan memobilisir opini publik untuk
mengambil keuntungan secara politik dan finansial.
Sebenarnya berkenaan dengan isu syariat Islam
bukanlah hal baru di Aceh. Nilai tawar syariat Islam bagi para politisi adalah
amunisi ampuh merebut simpatik rakyat Aceh. Sejarah juga sudah pernah
menorehkan tinda emas betapa ampuhnya isu syariat Islam membuat para politisi
bertepuk dada menyakinkan para agamawan dan rakyat Aceh.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, presiden
Soekarno pernah berjanji memberikan kewenangan Aceh untuk memberlakukan hukum
Islam di Aceh yang tersohor dengan julukan Serambi Mekah. Ketika itu, presiden
Soekarno meminta kepada Tgk. Daud Beureueh untuk membantu perang bersenjata
antara Indonesia dengan Belanda. Tgk. Daud Beureueh akan meyanggupi permintaan
Soekarno dengan dua syarat, yakni perang berlandaskan Fisabilillah, dan Aceh diberikan kebebasan menjalankan syariat
Islam nantinya.
Soekarno pun menyanggupi dua syarat tersebut. Saat
itu, Tgk. Daud Beureueh meminta perjanjian ditulis dalam secarik kertas sebagai
bukti untuk diperlihatkan kepada rakyat Aceh. Namun, Soekarno tidak menyanggupi
permintaan hitam di atas putih dalam secarik kertas kepada Tgk. Daud Beureueh.
Presiden Soekarno dengan menangis tersedu-sedu menyakinkan Tgk. Daud Beureueh
tidak akan mengingkari janjinya kepada rakyat Aceh. Akhirnya selepas perang usai
melawan Belanda, janji Soekarno tidak pernah diwujudkan di Aceh.
Tidak hanya itu, isu penerapan syariat Islam kembali
mencuat dimasa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dus). Saat itu, Gus
Dur berkomentar bahwa orang Aceh meminta Syariat Islam, bukan meminta
kemerdekaan. Begitu juga pada masa kepemimpinan Megawati, menindak lanjuti
Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan
dan peran ulama dalam kebijakan. Presiden Megawati mempertegas kembali dengan
menandatangani lahirnya Undang
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus. Undang Undang tersebut mengatur tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah
di Aceh.
Sepintas jalan menuju pintu hukum
Islam yang disutradarai oleh para politisi ketika itu, sejenak membuat rakyat
Aceh lupa dengan isu kemerdekaan dan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun, konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Indonesia tetap berlanjut di Aceh, kenyamanan masyarakat masih saja terusik.
Pada masa damai Aceh, dan lahirnya lahirnya Undang Undang Pemerintahan Aceh
nomor 11 tahun 2006. Pasal sebelas undang-undang ini menjelaskan bahwa
masyarakat Aceh diberi keleluasan dalam berserikat dengan membentuk partai lokal
Aceh.
Sejumlah
partai nasional dan partai lokal pun memeriahkan pesta demokrasi di Aceh. Tidak
bisa ditampik, masa kampanye partai politik berlomba-lomba menghembuskan isu
syariat Islam untuk merebut hati rakyat Aceh. Mungkin saja para politisi telah
belajar dari sejarah para pendahulunya betapa ampuhnya janji hukum syariat
Islam membuat rakyat Aceh luluh hatinya untuk memberi dukungan secara moral dan
material.
Partai
politik sebagai mesin politik akan selalu ada kepentingan menyelimutinya untuk
mencapai tujuan kekuasaan, termasuk dengan mengambing hitamkan hukum Islam.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih antara kepentingan partai
politik dan agama.
Buktinya,
sejak Qanun
Jinayah bergulir keranah publik pada tanggal 15 September 2009 silam, saat DPR
Aceh mengesahkan qanun jinayah sebagai bagian dari pelaksanaan syariat Islam di
Aceh. Pengesahan qanun itu telah menghindupkan perdebatan tentang formalisasi
syariat (hukum) di Aceh. Selain itu, antara legeslatif selaku pembuat Undang
Undang, dan eksekutif sebagai pelaksananya masih berbeda pendapat.
Perbedaan pendapat antara legeslatif dan eksekutif
cukup memberi isyarat bahwa pelaksanaa syariat Islam di Aceh sarat dengan
kepentingan-kepentingan elit politik. Tidak hanya itu, penegakkan syariat Islam
pun jauh dari perspektif
keadilan. Ketika masyarakat biasa terjerat perkara Jinayah, sorotan hukum Islam
ditimpakan kepada mereka. Namun, ketika para elit politik atau orang-orang yang
dekat dengan kekuasaan terjerat perkara Jinayah, hukum Islam menjadi “kabur”.
Syariat
Islam bukanlah nilai tawar para elit politik. Maka marilah kita sama-sama
menentang para politisi mengobral Agama untuk kepentingan politik
Sumber foto di sini