Aceh Feature, 20 September 2010
Koran berserakan di meja. Saya baru saja membaca laporan tentang mendiang presiden Soeharto masuk daftar sepuluh tokoh nasional yang diajukan Kementerian Sosial untuk memperoleh gelar pahlawan nasional kepada Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa.
Kesepuluh tokoh tersebut adalah mantan gubernur Jakarta, Ali Sadikin dari Jawa Barat, Habib Sayid Al Jufrie dari Sulawesi Tengah, mantan presiden Soeharto dari Jawa Tengah, mantan presiden Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur, Andi Depu dari Sulawesi Barat, Johannes Leimena dari Maluku, Abraham Dimara dari Papua, Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan, Pakubuwono X dari Jawa Tengah, dan Sanusi dari Jawa Barat.
Situs resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa gelar pahlawan nasional adalahgelar yang diberikan pemerintah Indonesia kepada warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara.
Masuknya usulan nama Soeharto sebagai satu dari 10 calon pahlawan nasional menuai kontroversi di masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan orang Aceh.
JUMPA pers yang diorganisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (Kontras Aceh) berlangsung di satu kedai kopi Banda Aceh pagi itu. Komponen Masyarakat Sipil Aceh (KMSA) yang terdiri dari 82 organisasi akan melangsungkan tanya jawab dengan wartawan di sini. KMSA meliputi lembaga sosial masyarakat, organisasi mahasiswa, partai politik dan media.
Tema acara kali ini, "Untuk Keadilan, Tolak Soeharto sebagai Pahlawan". Moderator acara adalah Hendra Fadli, koordinator Kontras Aceh.
Dari kejauhan saya melihat Ghazali Abbas. Dia mantan anggota parlemen Jakarta dan mantan anggota Dewan Pencari Fakta (DPF) Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh.
Dia juga pendiri Partai Aceh Aman Seujahtra (PAAS), salah satu partai lokal Aceh.
PAAS dan partai lokal lain yang ada di Aceh lahir sebagai salah satu poin kesepakatan pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam Perjanjian Helsinki.
"Jumpa pers akan kita mulai, para undangan silakan masuk dalam ruangan," ujar Hendra.
Kursi telah diatur rapi. Ruangan mulai sesak. Beberapa orang tampak mengenakan topeng wajah Soeharto.
Hendra memberi Gazali Abbas kesempatan pertama untuk bicara, yang lantas mengenang kembali perannya saat jadi anggota DPF-DOM Aceh.
"Setelah mendengar laporan langsung dari masyarakat Aceh dan melakukan investigasi ke lapangan, ditemukan kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia). Dari investigasi itu kita paripurnakan ke DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan hasil rapat paripurna kita mendesak pemerintah untuk mencabut status Aceh dari DOM," cerita Ghazali, menggebu-gebu.
Saat melakukan kunjungan itulah Ghazali menganggap ada usaha pembantaian etnis sejak pemberlakuan DOM, dan presiden Soeharto bertanggung jawab atas tragedi kemanusian ini. Selain itu, Ibrahim Hasan, gubernur Aceh di masa tersebut, ikut pula bertanggung jawab.
Setelah Gazali, giliran Azriana memberi pendapatnya tentang Soeharto. Azriana adalah Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK). Dia berkaca minus, bicaranya teratur dan jelas.
RPUK berdiri pada 2 Juni 1999 dengan tujuan membela hak perempuan dan anak-anak di pengungsian dan pasca pengungsian.
Pada 1999, di Aceh marak dengan aksi pengungsian akibat konflik bersenjata Tentara Nasional Indonenesia (TNI) dan GAM. Warga desa mengungsi ke tempat yang mereka anggap aman, seperti masjid dan sekolah.
Menurut Azriana, gerakan perempuan dibendung saat pemerintahan presiden Soeharto. Perempuan dikebiri dalam ranah-ranah publik dan politik melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
"Selama 32 tahun perempuan adalah sosok di belakang suaminya,"ujarnya.
Azriana menganggap semasa pemerintahan Soeharto, politikus perempuan secara sistematis "dihilangkan". Itulah yang membuat orang kelak beranggapan bahwa perempuan tidak punya kualitas dalam berpolitik.
"Sedikitnya 102 orang perempuan menjadi korban pemerkosaan tentara di masa DOM. Dan hanya satu kasus pemerkosaan saja yang disidangkan, selebihnya dibiarkan mengambang tanpa kejelasan. Jadi bagi gerakan perempuan, tidak ada tanda jasa untuk Soeharto," tegas Azriana.
Reza Idria dari Komunitas Tikar Pandan menyambung pernyataan Azriana. Komunitas Tikar Pandan merupakan perkumpulan masyarakat sipil yang menjadi pusat kajian dan pemberdayaan rakyat dalam bidang kebudayaan untuk mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial di Aceh.
"Pada masa Orba (Orde Baru), pemerintah pusat membentuk lembaga kesenian daerah sebagai alat suara politik pemerintah ketika itu. Kehidupan seniman dijadikan masyarakat yang marjinal. Pemutusan hak informasi dan melarang penerbitan buku-buku sejarah sebagai upaya mengaburkan fakta sejarah, ini adalah pembodohan secara sistematis," kata Reza.
Lagu-lagu tradisional Aceh yang dinyanyikan kelompok musik Nyawoeng, misalnya dilarang beredar di pasaran. Lagu-lagu itu dituduh mengajak orang Aceh melawan pemerintah. Sejak DOM berlaku, lagu-lagu dan seni tradisional Aceh tidak berkembang. Penyebabnya tak lain dari represi militer.
"Selanjutnya Rahmat Djailani dari PRA yang menyampaikan pandangannya," pinta Hendra
PRA singkatan dari Partai Rakyat Aceh. PRA didirikan sejumlah aktivis Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh pada 2 Maret 2006. Front itu adalah pengembangan dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat atau SMUR, organisasi mahasiswa pro demokrasi di Aceh.
SMUR berafiliasi dengan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi atau LMND, organisasi semilegal Partai Rakyat Demokratik atau PRD. Partai ini dinyatakan resmi sebagai partai terlarang di masa Soeharto. Anggota dan pengurusnya yang terdiri dari anak-anak muda berusia 20-an ditangkap dan dipenjarakan. Mereka baru dibebaskan di masa pemerintahan presiden Habibie.
Rahmad Jailani bertubuh agak gemuk. Rambutnya cepak. Nada bicaranya keras
"Partai politik yang berkuasa waktu itu hanya boleh satu partai. Bagi kami hal ini bertentangan dan melanggar dengan falsafah dan ideologi Pancasila, yang mengajarkan tata cara berpolitik dan menjunjung tinggi HAM," ujar Rahmad.
Menurut Rahmad, jika pemerintah Indonesia menganugerahi Soeharto gelar pahlawan nasional, artinya pemerintahan sekarang berkhianat pada Pancasila.
Orde Baru melakukan penyederhanaan jumlah partai politik. Ada tiga partai politik resmi yang ditetapkan negara di masa Soeharto: Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokarasi Indonesia, dan partai pemerintah, Golongan Karya.
Mukhtaruddin memperoleh giliran bicara sesudah Rahmad. Dia ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kota Banda Aceh. Mukhtaruddin terlambat datang, sehingga kursinya terletak di belakang. Dia segera melangkah ke depan.
"Waktu itu hanya satu organisasi pers diizinkan berdiri yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dan ruang gerak kebebasan pers dipersempit dengan mengesahkan Undang Undang Pers Nomor 11 Tahun 1966," katanya.
Berdasarkan undang-undang itu, organisasi pers ialah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers yang disahkan pemerintah.
"Ketika Undang Undang itu berlaku di Indonesia, semua wartawan mesti terlebih dahulu terdaftar sebagaiPWI," kata Mukhtaruddin.
PWI berdiri pada 1946. Semula PWI dimaksudkan sebagai wadah bagi para wartawan pejuang yang demokratis, tapi dalam perkembangannya PWI telah dijadikan "kuda tunggangan" politik kekuasaan Orde Baru.
Sebagian pembicara usai menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap rencana pemberian gelar pahlawan pada Soeharto dengan mengungkap perbuatan-perbuatan sang almarhum di masa hidupnya. Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa. Dia meninggal dunia dua tahun lalu.
Moderator pun membuka sesi tanya-jawab sesudah Mukhtaruddin menyampaikan pendapatnya.
Namun, Nurdin Hasan dari Serambi Indonesia malah mempertanyakan keakuratan data tentang korban rakyat sipil ketika pemberlakuan DOM yang dimiliki KMSA.
Hendra Fadli bereaksi. Dia menyatakan bahwa titik berat masalah DOM bukan sekadar jumlah, melainkan unsur kejahatan sistematis dan meluas. Kejahatan di masa DOM itu masuk dalam ranah kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.
Pemerintah Orde Baru memberlakukan DOM di Aceh untuk menghentikan perlawanan GAM.
Gerakan menentang Jakarta dimulai ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 1976, yang kelak dijuluki Gerakan Aceh Merdeka atau GAM oleh Soeharto.
Tiro ingin Aceh menjadi negara berdaulat. Dalam pandangan Tiro, konflik ini dipicu oleh tindakan penjajah kolonial Belanda mengambil kedaulatan dari kerajaan Aceh pada 1873. Ketika Belanda angkat kaki dari Indonesia, Belanda tidak ikut mengembalikan kedaulatan kerajaan Aceh, melainkan menyerahkannya kepada kolonialis Jawa di tahun 1949.
Dengan alasan menumpas perlawanan bersenjata GAM yang kemudian dijuluki lagi sebagai Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT), Soeharto menerapkan DOM dengan sandi “Operasi Jaring Merah” atas permintaan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada 1989.
Pada 31 Agustus 1998, Habibie, presiden setelah Soeharto, mencabut status DOM. Dia memerintahkan Panglima TNI Jenderal Wiranto untuk menarik seluruh pasukan non-organik dari Aceh. Di masa pemerintahan Habibie pula, di bawah tekanan dunia internasional, Timor Leste menyelenggarakan referendum dan memperoleh kemerdekaannya.
Sebuah temuan investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di tahun 1998 memperkirakan 3000 perempuan menjadi janda dan 15.000 sampai 20.000 anak-anak Aceh menjadi yatim piatu.
Berdasarkan verfikasi KMSA, dalam kurun waktu sepuluh tahun saja tercatat 871 orang meninggal karena tindak kekerasan, 387 orang hilang kemudian ditemukan meninggal, 550 orang hilang, 368 korban penganiayaan, 120 korban dibakar rumahnya, serta 102 perempuan korban perkosaan. Ini belum termasuk kasus yang tak tercatat.
Pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
Dalam butir 2.2.2 Perjanjian Helsinki tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa sebuah pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh dan butir 2.2.3 juga menegaskan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
Namun, butir mengenai HAM dalam Perjanjian ini hanya sebatas teks saja. KKR tidak pernah terbentuk, sedang statusnya yang bersifat nasional malah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi di Jakarta.
Usai menjawab pertanyaan Nurdin, Hendra menyilakan Tengku Faisal Ali bersuara. Faisal ketua Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Aceh. NU adalah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia dan di dunia, berdiri pada 31 Januari 1926.
Tapi pagi itu Faizal Ali tidak datang dengan membawa nama NU. Dia mengatasnamakan Pimpinan Pesantren Mahyal Ulum Al-'Aziziyah, pesantren tradisional yang berada di Sibreh, Aceh Besar.
Nada bicaranya santun. Dia membuka pembicaraan dengan saran, "Yang sangat pantas untuk almarhum Soeharto adalah kita mendoakan agar dia diampuni dosa-dosanya oleh Allah, itu yang sangat pantas bagi almarhum."
"Tapi, berkenaan dengan gelar pahlawan. Ini adalah persoalan kemanusiaan. Masih banyak orang yang pantas didahulukan dari beliau. Soeharto belum saatnya mendapatkan gelar itu," kata Faizal.
Selesai Faizal bicara, giliran Hospinovizal Sabri dari Lembaga Bantuan Hukum-Banda Aceh berkomentar.
Hospinovizal menyebutkan bahwa pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto akan berkontradiksi dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2009 Pasal 2 yang pemberiannya berasaskan kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, keteladanan, kehati-hatian, keobjektifan, keterbukaan, kesetaraan, dan timbal balik.
"Sampai saat ini, dengan status hukum mantan presiden Soeharto yang tidak jelas karena tidak ada upaya hukum apapun yang dilakukan pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM, dan ini menjadi rasa ketidakadilan bagi korban HAM," katanya.
Askhalani dari Gerakan Anti Korupsi atau GERAK menyambung Hospinovizal. Menurutnya, Soeharto adalah pemimpin terkorup di dunia.
"Tak sewajarnya dia mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah. Pengusutan kasus korupsi Soeharto terlampir dalam Tap MPR nomor 11 Tahun 1998, yang dalam salah satu pasalnya mengamanatkan penuntasan proses hukum terhadap mantan Presiden Soeharto," tuturnya.
Setelah para pembicara usai menyatakan pandangan mereka, moderator membuka sesi bertanya kembali. Seorang perempuan langsung mengajukan pertanyaan yang sebenarnya lebih mirip pernyataan.
"Seharusnya kejahatan HAM yang dilakukan Soeharto diajukan ke mahkamah internasional. Dia adalah penjahat perang, sama halnya dengan mantan presiden Slobodan Milosevic. Dia sama sekali tak pantas jadi pahlawan," ujar Maryati. Dia perwakilan dari Forum Akademisi Aceh.
Slobodan Milosevic adalah mantan pemimpin Serbia-Bosnia. Dia dianggap paling bertanggung jawab terhadap pembantaian atau atau genosida di Bosnia dan Kroasia. Kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya telah menyeret Milosevic ke meja hijau Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda. Pada 11 Maret 2006, ia meninggal di sel tahanannya.
Reaksi pro dan kontra pun mulai muncul. Seorang di kursi belakang menyatakan bahwa orang juga tak boleh menutup mata atas keberhasilan pembangunan yang dilakukan Soeharto.
"Di masa kepemimpinannya, Indonesia dijuluki "macan Asia". Bagaimana menurut pandang anda dengan hal itu?" tanya orang tersebut.
Soeharto juga pernah dianugerahi United Nations Population Award, penghargaan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang kependudukan melalui program Keluarga Berencana.
Penghargaan itu disampaikan langsung dalam sebuah upacara di Markas Besar PBB di New York, bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989.
Reza Idria dari Komunitas Tikar Pandan menanggapi pertanyaan itu.
Menurut Reza, gelar bapak pembangunan yang diperoleh Soeharto dulu dan julukan Indonesia sebagai macannya asia tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Soeharto juga. Di masa pemerintahannya, media dikuasai penuh oleh negara dan negara menggunakan media sebagai corong kekuasaannya.
"Cukup gelar istilah bapak pembangunan saja untuk Soeharto, tidak harus pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional," tukas Azriana.***