Wednesday, January 25, 2012

Namaku Jufrizal, di Cina jadi Fujia

Situs berita www.serambinews.com,  Minggu, 1 Januari 2012 19:21 WIB


PERTENGAHAN September 2011, pertama kali saya mengikuti ujian kemampuan dasar bahasa mandarin di Nanchang University, saya hanya bisa menghela nafas panjang seperti menghirup udara di ruang hampa. Hal serupa juga dirasakan oleh tiga teman saya dari Aceh waktu itu. 

Sore itu, di ruangan kelas berkumpul mahasiswa internasional penerima beasiswa dari pemerintahan Cina sedang serius mengerjakan soal ujian kemampuan dasar bahasa mandarin. Saya hanya bisa tersenyum lebar melihat lembaran soal. Semua soal ditulis dengan menggunakan bahasa Hanzi (bahasa simbol), tak ada huruf abjad satupun di lembaran soal.

Hasil ujian ini menentukan kami untuk mengisi kelas-kelas belajar bahasa mandarin selama satu tahun di Nanchang University. Ada empat tingkatan kelas bahasa diperuntukkan bagi mahasiswa asing. Dari sekian banyak penerima beasiswa mahasiswa internasional, hanya dari Aceh sejak awal belum pernah mendapatkan pendidikan dasar bahasa mandarin. Dan akhirnya kami ditempatkan di kelas dasar.

Di kelas dasar, ada juga dari teman Semarang dan Makasar serta negara lainnya. Seorang teman dari Makasar mengatakan pada saya, pemerintahan daerahnya sangat merespons positif dengan keberadaan lembaga pendidikan bahasa mandarin. Di kampus mereka saja ada lembaga bahasa mandarin. Selain itu, ada sebagian sekolah-sekolah di Makasar ada mata pelajaran pendidikan bahasa mandarin.

Mendengar penjelasan dia, memberikan pemahaman dalam benak saya. Kalau dipikir-pikir, Aceh sangat tertinggal dalam dunia pendidikan. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi di Aceh.

Saya dan ke tiga teman saya pun lulus seleksi beasiswa dari pemerintahan Cina setelah mengikuti seleksi dari pemerintahan Cina dan berkat rekomendasi dari Pembantu Dekan IV Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Abdul Rani Usman. Dia juga Ketua Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin-Aceh (BKPBM-Aceh).

Setelah tiba di Cina, saya baru tahu ternyata pemerintahan Cina sangat merespons dan memberikan apresiasi positif kepada lembaga pendidikan di luar negeri yang memiliki tujuan memperkenalkan budaya dan bahasa mandarin di negaranya.

Siang itu, Kamis 29 Desember 2011, saya baru saja mengikuti ujian semester kuliah bahasa mandarin. Pada ujian kali ini, saya tak mematung seperti patung duka cita saat ujian pertama kali penentuan kelas bahasa mandarin. Sebagian soal dalam huruf hanzi, sudah saya pahami, ya walaupun masih banyak kekurangan.

Pada suatu ketika ujian chinese character ada kejadian lucu terjadi di kelas. Saya lupa-lupa ingat bagaimana tulisan nama saya sendiri dengan huruf hanzi. Seketika itu saya bergegas maju ke depan mengambil kartu mahasiswa di dalam tas. Ya setiba di Cina semua mahasiswa internasional diharuskan memiliki nama Cina. Nama Cina saya adalah Fujia.

“Fujia, untuk apa kamu mengambil kartu mahasiswamu di dalam tas,” ujar Mrs. Wang. Dia adalah pengasuh mata kuliah chinese character, dan juga Pembimbing Akademik (PA) saya di Nanchang University.

“Laoshi, saya lupa bagaimana tulisan nama saya sendiri,” jawab saya polos.

Seketika, suasana serius mengerjakan soal ujian menjadi pecah dengan gelak tawa dari teman-teman saya  di kelas siang itu. Maklum saja, tuk bisa menulis dan membaca dalam bahasa mandarin bagi pemula harus bisa mengingat 3.000 karakter huruf hanzi. Dan ini bukan perkara mudah, selain itu banyak aturan intonasi pengucapannya lagi. 

Salah-salah intonasi pengucapan, bisa salah makna dari kata-kata yang kita ucapkan nantinya. Tapi saya yakin, sesulit apapun tantangan yang saya alami pasti ada hikmat dipenghujung nantinya. 

Hikayat Punker


“Aku bukan penjahat, aku Punker”. Sangat wajar rasanya kalimat pembuka opini saya tulis seperti itu. Mengingat maraknya pemberitaan media cetak dan online di Aceh maupun nasional tentang penangkapan dan pembubaran konser amal bertajuk “Aceh for Punk” di Taman Budaya, Banda Aceh (10/12). Para Punker digelandang ke Mapolresta Banda Aceh, sebelum akhirnya dikarantina di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar untuk menjalani “pembinaan”.

Foto-foto anak-anak Punk yang sedang dilakukan pembinaan moralnya di SPN Seulawah terpampang jelas di media. Sebagai alasan pembinaan, rambut gaya Mohawk indentitas para anak Punk dipotong oleh pihak kepolisian di muka umum, dan para Punker juga dimandikan di kolam secara berjamaah.

Melihat fenomena pembinaan moral anak bangsa seperti itu, menarik untuk dibicarakan. Saya yakin apapun alasan untuk dijadikan pembenaran tindakan pembinaan seperti itu akan mengundang perang opini dikalangan masyarakat. Terlepas dari pro-kontra, saya tak bermaksud membela anak-anak Punk bahkan menghujat aksi penangkapan yang dilakukan pihak penegak hukum (polisi). Saya hanya sekedar bersuara lewat tinta berkaitan fenomena pembinaan anak Punk dari sudut pandang interest (sisi kemanusian) semata.

Dilihat dari sejarah, akar kelahiran komunitas Punk  dimulai di Inggris. Punk sendiri adalah gerakan anak muda yang dipelopori oleh kaum tertindas dari kelas pekerja, gerakan ini muncul dari ketidak puasan anak muda terhadap kehidupan bernegara. Pada tahun 1980-an gerakan  Punk akhirnya juga merambah anak-anak muda di Amerika yang sedang mengalami masalah ekonomi dan keuangan. Masalah ini dipicu oleh kemerosatan moral para tokoh politik atau penguasa sehingga berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakat Amerika ketika itu.

Punk juga bisa dikatakan sebagai ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik, namun Punk juga dapat berarti jenis musik atau gendre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punker  di Amerika mengkritisi para tokoh politik atau penguasa lewat lagu dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar dan sarat dengan kritik sosial. Cara seperti itulah para Punker Amerika melakukan pembinaan moral kepada politikus atau penguasa di negaranya.

Dewasa ini banyak orang mengira tingkah laku seperti potongan rambut Mohawk atau diwarnai dengan warna terang, memakai sepatu boots, rantai, jaket kulit, celana jeans dan baju lusuh,  anti kemapaman, anti sosial, kaum perusuh, pemabuk, pelaku kriminal kelas rendahan, bahkan disebut sebagai penyakit sosial adalah layak disebut sebagai Punker. Menurut hemat saya ini adalah pandangan yang keliru, Punk sebenarnya dapat diartikan sebagai sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves (kita dapat melakukannya sendiri), keyakinan ini menuntut anak Punk untuk belajar berusaha mandiri dan berusaha lebih dewasa saat menghadapi krisis ekonomi.

Berbicara dengan penyakit sosial dan kerusakan moral, sebenarnya penyakit ini buta dengan namanya suku, agama, dan antargolongan. Virus ini dapat merusak siapapun, termasuk penguasa, penegak hukum, pelaku pendidikan, dan bahkan kita sendiri juga tak akan mampu menjamin lepas dari wabah kerusakan moral ini.

Bukti  kerusakan moral dapat melanda siapa saja sudah sering kita dengar dari pemberitaan di media-media. Adakah anda menonton atau membaca berita tentang para penguasa yang tamak (korup) di negeri ini? Saat penegak hukum menggadaikan keadilan untuk kepentingan pribadi, bahkan pemberitaan tentang kerusakan moral di dunia pendidikan, ketika seorang pendidik yang seharusnya menjadi panutan malah melakukan tindakan asusila. Itulah segelintir bukti wabah kerusakan moral dapat menghantui siapa saja.

Kembali ke fenomena “pembinaan” anak-anak Punk di SPN Seulawah, sungguh tak arif metode pembinaan ala militer disuguhkan untuk mereka. Ya, walaupun ada metode pendekatan spiritual dalam pembinaan moral anak-anak Punk itu.

Namun dikaji dari perspektif keadilan dan kemanusian tak sepatutnya anak-anak Punk sebagai kaum minoritas disuguhkan pembinaan moral seperti itu. Bukankah penyakit moral bisa melanda siapa saja? Pembinaan seperti itu malah akan melukai nilai-nilai kemanusian. Metode pembinaan ala militer untuk anak-anak Punk mengingatkan saya ketika Aceh masih dalam keadaan konflik. Malahan pembinaan tak terkontrol oleh lembaga sipil akan meninggalkan rasa trauma psikologis nantinya bagi anak-anak Punk.
Semestinya, jika anak-anak Punk terbukti melakukan tindakan pidana atau kriminal tak seharusnya mereka dicap secara kesuluran sebagai komunitas yang patut ditindak dan dihukum. Bukankah tindakan hukum itu dilihat dari pelakunya secara personalitas (individu). Lagi-lagi negeri kita berlaku tak adil terhadap kaum minoritas.

Mungkin ini cerita konyol dan lucu saat seorang dari kaum mayoritas yang memiliki kekuasaan dilanda permasalahan hukum. Mereka beramai-ramai melakukaan pembelaan dengan cerita-cerita dongeng terhadap kaumnya di media. Tapi saat dia benar-benar menjadi terdakwa di mata hukum, hanya kalimat penyejuk “itu oknum yang melakukannya” terlontar dari mulut kaum mayoritas dipemberitaan keesokannya.

Bisa saja kegiatan amal bertajuk “Aceh for Punk” sebagai protes nyata komunitas Punk terhadap kebijakan demokrasi yang tak memihak kepada masyarakat tertindas ekonominya. Mereka ingin memberikan bukti, bahwa mereka punya rasa sosial dan simpatik terhadap permasalahan anak-anak yatim piatu di panti asuhan. Semestinya sindiran halus yang berakhir di “penjara pembinaan” dapat menyadarkan penguasa yang selalu mendewakan sistem demokrasi di negeri ini. Bukankah dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Jika kita masih saja menutup mata dengan rasa keadilan,  kemerosatan moral akan tetap melanda