Wednesday, August 24, 2011

Hikayat Inong Keude Kupi (Catatan untuk Azwardi)

Serambi Indonesia, 30 April 2011

SANGAT tidak arif ketika saya membaca opini Azwardi (Serambi Indonesia, 27/04/211) dengan judul “Inong Bak Keude Kupi”. Azwardi beranggapan perangai kaum inong bak keude kupi telah mencederai spririt Kartini, seorang pahlawan perempuan yang diagung-agungkan di pulau Jawa.



Tak hanya itu, Azwardi melihat fenomena inong bak keude kupi hanya dari sudut negatifnya saja, dengan memberikan logika cerita sekelompok anak muda yang terdiri atas beberapa orang lelaki dan beberapa orang perempuan yang larut dengan suasana kebersamaan, dan menyandarkan dadanya di tepian meja serta merentangkan tangan ke bidang meja tanpa menghiraukan orang-orang sekelilingannya.

Dan sungguhlah tak arif dengan melihat fenomena itu, Azwardi memberikan kesimpulan bahwa kaum inong Aceh yang sering meluangkan waktu ke keude kupi (secara keseluruhan) telah lupa diri dengan nilai-nilai adat dan kebiasaan masyarakat Aceh dan nilai-nilai keislaman, dan bahkan menebarkan aib bagi keluarga yang bersangkutan

Menurut hemat saya, pergeseran adat kebiasaan dan nilai keislaman tidak semata-mata karena pengaruh kultur budaya dari luar, apalagi dengan menyalahkan pegiat-pegiat Non-goverment Organization (NGO) asing, pergeseran ini terjadi dalam diri pribadi manusia itu sendiri, manusia telah dianugerahkan akal dan pikiran untuk bisa menentukan secara bijak pola pikirannya yang sesuai dengan adat kebiasaan dan nilai ajaran islam masyarakat Aceh.

Teman-teman perempuan saya berdiskusi panjang lebar tentang opini tersebut di jejaring sosial facebook, mereka merasa terzalimi membaca opini yang provokatif itu. Mereka berpendapat, melihat suatu fenomena harus menserasikan antara keadaan positif dan negatif. Apalagi ini berkaitan dengan spirit perempuan. Mungkin saudara Azwardi tidak pernah melihat atau bahkan menutup mata saat ada sekelompok lelaki dan perempuan yang menjadikan warung kopi itu sebagai sarana informatif yang sangat murah mengakses layanan internet untuk keperluan pendidikan. Tidak hanya itu, warung kopi di Aceh juga menyediakan ruangan khusus sebagai musalla, dan ini sebagai wujud kesadaran pemilik warung kopi menjaga adat istiadat dan nilai-nilai ajaran islam di Aceh. Hal ini jarang kita temukan di warung kopi atau cafe di luar Aceh.

Lebih mirisnya lagi saudara Azwardi mencibir inong keude kupi dengan ucapan, “nyan inong cot; inong peukanjai bansa; nyan hana lam kamuh inong Aceh”, entah dari mana sumber kebenarannya yang menyebutkan perempuan warung kopi adalah sosok perempuan yang menjatuhkan martabat suatu bangsa. Tak hanya itu, saudara Azwardi kembali menguatkan argumennya dengan termilogi adat Aceh, perempuan itu adalah purumoh (orang rumah) yang secara kontektual aktifitas perempuan dibatasi.

Pandangan Azwardi tentang perempuan sebagai “purumoh” sangat bertolak belakang dengan spirit Cut Nyak Dhien. Walaupun Cut Nyak Dhien berasal dari keluarga bangsawan yang taat beragama, dia menghabiskan masa hidupnya bergerilya ke hutan-hutan melawan penjajah Belanda. Beda halnya dengan Raden Adjeng Kartini, seorang perempuan dari kalangan priayi atau kelas bangsawan Jawa yang menghabiskan sisa hidupnya di kraton.

Sejarah juga mencatat, salah satu alasan Cut Nyak Ddien menerima lamaran Teuku Umar, lantaran Cut Nyak Dhien mempersilakannya untuk ikut serta bertempur di medan perang melawan Belanda ketika itu. ikut sertanya Cut Nyak Dhien selaku perempuan dalam pertempuran  membuat moral semangat pejuang Aceh semakin mengalir. Dan lewat sejarah inilah telah membuktikan keberadaan kaum perempuan Aceh bukanlah sebagai “purumoh” yang ditafsirkan selama ini.

Kembali ke Inong keude Kupi yang disebut-sebut kaum yang melawan kodratnya sebagai perempuan. Terlalu taklib jika kita menuduhnya seperti itu. Menurut para teolog Islam kodrat definisikan secara umum berasal dari kata qâdir yakni, apabila berkehendak, akan berbuat sesuatu dan apabila berkehendak, akan meninggalkannya.

Kodrat merupakan salah satu sifat yang bisa kita temukan dalam diri kita sendiri pada tingkatan terbatas. Kita tidak menyadari pada dasarnya kodrat itu muncul dari naluri manusia itu sendiri. Apa saja naluri itu? naluri itu sama hal yang telah dicontohkan oleh saudara Azwardi ketika ada inong keude kupi yang menjejerkan bahunya, nimbrung, mejeng, kongkow, ketawa-ketawa, dan ngakak. Dan apakah naluri ini tidak dimiliki oleh agam keude kupi? Tak sewajarnya jika kita cuma menyalahkan inong keude kupi saja, bukankah inong dan agam keude kopi sama-sama dianugerah naluri manusia oleh Allah SWT. Lihatlah kekurangan dan kelebihan seseorang itu sebagai pengalaman hidup, dan tidak ada makluk yang sempurna di dunia ini diciptakan oleh Allah dengan kodrat-Nya.



Jalur Independen

Aceh Feature, 3 Januari 2011

Mahkamah Konstitusi menetapkan calon independen berhak ikut serta dalam Pilkada Aceh tahun ini, mengakhiri debat dan aksi pro-kontra di kalangan politisi dan partai-partai di Aceh.


KURSI-kursi masih kosong di ruangan itu. Di atas meja berserak koran-koran. Safaruddin, pengurus Partai Suara Independen Rakyat Aceh atau Partai SIRA, menyambut tamunya.  Sikapnya jauh dari kesan kaku. Kadangkala dia melontarkan gurauan. Pakaiannya pun bergaya santai. Dia mengenakan setelan kemeja putih bergaris merah dan celana jins. Ada bekas cukuran di dagunya, yang kalau rambut di daerah itu dibiarkan tumbuh bisa membuatnya brewok dan lebih angker.

Dulu Safaruddin aktivis mahasiswa dan ikut organisasi mahasiswa yang juga bernama SIRA, dengan kepanjangan berbeda: Sentral Informasi Referendum Aceh.  Kesepakatan pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Agustus 2005 di Helsinki telah melahirkan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 tentang pembentukan partai lokal dan membuat SIRA menjelma partai politik pada pertengahan Desember 2007 lalu. Safaruddin pun berubah predikatnya, dari aktivis mahasiswa ke politikus partai.  Selain itu, dia juga seorang pengacara.

Namun, ada pasal dalam UUPA yang membuat orang-orang politik dan memahami hukum seperti Safaruddin khawatir dan protes.

“Ini terkait dengan pasal 256,” katanya.

Pasal tersebut menyatakan bahwa calon perorangan  atau independen hanya berlaku sekali saja sejak UUPA ditetapkan. Padahal Safaruddin ingin agar calon independen dibolehkan ikut pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Aceh pada 2011.

Dia lantas ikut serta dalam sidang pengajuan judicial review  atau tinjauan pengadilan tentang jalur independen atau perorangan ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

“Karena negara menjamin hak warga negaranya secara konstitusional, dan UUPA pasal 256 merugikan hak konstitusional dan juga bertentangan dengan UUD 1945,” ujarnya, merujuk pada undang-undang yang lebih tinggi.

Lagipula dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah tercantum tentang jalur independen atau perorangan ini.

“Tapi sekarang ada sebagian orang menolak jalur independen untuk Pilkada 2011 mendatang. Jadi kita menuntut keadilan agar jalur independen ini dapat terwujud kembali,” ujar Safaruddin.

Pada Pilkada 11 Desember 2006 silam, Komisi Independen Pemilihan-Aceh atau disingkat KIP Aceh menetapkan delapan calon gubernur dan calon wakil gubernur Aceh. Pasangan ini ada yang berasal dari partai politik dan gabungan partai politik, dan juga dari jalur independen.

Ada lima pasangan calon dari partai atau gabungan partai politik: Iskandar Hoesin-Muhammad Saleh Manaf  (Partai Bulan Bintang), Tamlicha Ali-Harmen Nuriqmar (Partai Bulan Reformasi- Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia-Partai Kebangkitan Bangsa), Malik Raden-Sayed Fuad Zakaria (Partai Golkar-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan-Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia), Humam Hamid-Hasbi Abdullah (Partai Persatuan Pembangunan), dan Azwar Abubakar-Nasir Djamil (Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera).

Tiga pasangan dari jalur independen, masing-masing  Djali Yusuf-Syauqas Ramatillah, Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar dan Ghazali Abbas Adnan- Salahuddin Alfata.

Bersama Muhammad Nazar pasangannya, Irwandi Yusuf berhasil mengalahkan tujuh pasang kandidat lain. Mereka pun jadi duet gubernur dan wakil gubernur Aceh periode 2006-2011.

Pasangan ini memperoleh suara sebanyak 768.745 atau 38,20 persen dari semua suara sah yang berjumlah 2.012.370. Menurut aturan KIP, pasangan yang memperoleh suara 25 persen atau lebih dari jumlah suara sah dapat ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Walaupun Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar mencalonkan diri lewat jalur independen, tapi mereka didukung GAM dan SIRA sampai akhirnya kedua organisasi itu menjelma sebagai partai-partai politik lokal yang berbeda. Orang-orang GAM kemudian membentuk Partai Aceh atau sering disingkat PA. Aktivis SIRA mendirikan Partai SIRA.


DI sudut Simpang Ulee Kareng, Banda Aceh ada kedai kopi Solong yang ramai. Banyak orang berbincang-bincang sambil makan dan minum di situ. Suasana gaduh dan gelak tawa sesekali terdengar.

Saya menunggu kedatangan Rahmat Djailani. Tak berapa lama dia muncul.
Rahmat mengenakan jaket katun dan celana jins, bertubuh agak gemuk. Rambutnya bergaya prajurit. Suaranya keras, yang sangat cocok untuk menyaingi kegaduhan dalam kedai ini. Sesekali telepon selulernya berbunyi.

Rahmat adalah salah satu pengurus Partai Rakyat Aceh atau PRA. Partai ini didirikan sejumlah aktivis Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh pada 2 Maret 2006. Front tersebut merupakan pengembangan dari Solidaritas Mahasiswa untuk Aceh atau SMUR, organisasi mahasiswa prodemokrasi di Aceh masa konflik.

Dia juga sekretaris Kaukus Partai Politik untuk Demokrasi. Organisasi ini terdiri dari partai-partai politik yang mendukung terwujudnya jalur independen di Aceh. Ada 14 partai politik yang bergabung, yang terdiri dari lima partai lokal (PRA, SIRA, Partai Daulat Aceh, Partai Bersatu Aceh dan Partai Aceh Aman Sejahtera) dan sembilan partai nasional (Partai Amanat Nasional,  Partai Gerakan Indonesia Raya alias Gerindra, Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura, Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Bulan Bintang, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Golkar dan Partai Demokrat).

“Jika jalur independen tidak diperbolehkan di Aceh, itu bentuk diskriminasi baru untuk demokrasi Aceh. Secara politik ada pihak yang tidak setuju dengan jalur independen,” ujar Rahmat.

Pihak manakah yang tidak setuju?

Menurut Rahmat, pihak yang tidak menghendaki kembalinya jalur independen adalah kalangan Partai Aceh atau PA, partai yang dibentuk para mantan GAM. PA bahkan menyampaikan keberatannya secara terbuka lewat media-media lokal di Aceh.

Menurut Ahmad Farhan Hamid, kemungkinan besar jalur independen akan disetujui  Mahkamah Konstitusi. Tapi tidak untuk Pilkada 2011. “Mungkin untuk Pilkada lima tahun mendatang,” katanya. Farhan adalah wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia. Dia menyatakan hal ini ketika kami bertemu di satu seminar belum lama ini.

Kalau pendapat Farhan ketika itu bernada lebih optimistis, Tengku Adnan Beuransyah justru berteguh pada apa yang ditetapkan dalam pasal 256 UUPA. Adnan adalah juru bicara PA dan Ketua Komisi A bidang pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

PA merupakan partai pemenang pemilihan umum legislatif pada 9 April 2009 silam, yang mengalahkan partai-partai nasional dan lima partai politik lokal lain. Tidak hanya itu. Partai-partai lokal lain bahkan tak bisa lagi ikut serta dalam pemilihan umum selanjutnya di Aceh akibat perolehan suara mereka yang berada di bawah lima persen.

Jalur independen atau perorangan sesungguhnya menjadi cara yang demokratis untuk melibatkan calon-calon yang tak berasal dari partai atau yang partainya gagal memenuhi kuota suara tadi. Agar demokrasi tetap berlangsung.

Tapi ada juga yang khawatir menyaksikan keterlibatan partai-partai nasional yang sudah lebih berpengalaman dalam politik dan agenda-agendanya ini dan minimnya pengalaman partai-partai lokal. Jangan-jangan aspirasi rakyat Aceh akan makin sayup dalam riuh kepentingan-kepentingan lain.

Menurut Adnan,  soal jalur independen harus merujuk pada UUPA, yang menyebutkan kesempatan itu cuma diberikan sekali saja dalam Pilkada Aceh. Lagipula, menurut dia,  belum ada partai lokal di Aceh waktu Pilkada 2006. Adnan menganggap aturan tersebut sudah sesuai dengan Perjanjian Helsinki, perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan GAM. Padahal dalam poin 1.2.2 Perjanjian Helsinki justru tertera ketentuan tentang calon independen: “Rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.”

Namun, seluruh pendapat pro dan kontra tersebut berakhir pada minggu lalu, 30 Desember 2010. Mahkamah Konstitusi di Jakarta mengabulkan permohonan para pendukung jalur independen untuk Pilkada 2011 di Aceh.

Menurut penjelasan Mahkamah Konstitusi, tindakan menentang calon independen bertentang dengan UUD 1945. Keputusan Mahkamah Konstitusi juga sesuai dengan keputusan lembaga ini pada 2007 yang mengakui dan membolehkan calon perorangan atau independen ikut berlaga dalam Pilkada. Ketentuan ini juga berlaku tak hanya untuk Aceh, tapi provinsi lain di Indonesia.




Soeharto dan Aceh

 Aceh Feature, 20 September 2010

Koran berserakan di meja. Saya baru saja membaca laporan tentang mendiang presiden Soeharto masuk daftar sepuluh tokoh nasional yang diajukan Kementerian Sosial untuk memperoleh gelar pahlawan nasional kepada Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa.

Kesepuluh tokoh tersebut adalah mantan gubernur Jakarta, Ali Sadikin dari Jawa Barat, Habib Sayid Al Jufrie dari Sulawesi Tengah, mantan presiden  Soeharto dari Jawa Tengah, mantan presiden Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur, Andi Depu dari Sulawesi Barat, Johannes Leimena dari Maluku, Abraham Dimara dari Papua, Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan, Pakubuwono X dari Jawa Tengah, dan Sanusi dari Jawa Barat.

Situs resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa gelar pahlawan nasional adalahgelar yang diberikan pemerintah Indonesia kepada warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara.

Masuknya usulan nama Soeharto sebagai satu dari 10 calon pahlawan nasional menuai kontroversi di masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan orang Aceh.

JUMPA pers yang diorganisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (Kontras Aceh) berlangsung di satu kedai kopi Banda Aceh pagi itu.  Komponen Masyarakat Sipil Aceh (KMSA) yang terdiri dari 82 organisasi akan melangsungkan tanya jawab dengan wartawan di sini.  KMSA meliputi lembaga sosial masyarakat, organisasi mahasiswa, partai politik dan media.

Tema acara kali ini, "Untuk Keadilan, Tolak Soeharto sebagai Pahlawan". Moderator acara adalah Hendra Fadli, koordinator Kontras Aceh.

Dari kejauhan saya melihat Ghazali Abbas. Dia mantan anggota parlemen Jakarta dan mantan anggota Dewan Pencari Fakta (DPF) Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh.

Dia juga pendiri Partai Aceh Aman Seujahtra (PAAS), salah satu partai lokal Aceh.


PAAS dan partai lokal lain yang ada di Aceh lahir sebagai salah satu poin kesepakatan pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam Perjanjian Helsinki.


"Jumpa pers akan kita mulai, para undangan silakan masuk dalam ruangan," ujar Hendra.

Kursi telah diatur rapi. Ruangan mulai sesak. Beberapa orang tampak mengenakan topeng wajah Soeharto.

Hendra memberi Gazali Abbas kesempatan pertama untuk bicara, yang lantas mengenang kembali perannya saat jadi anggota DPF-DOM Aceh.

"Setelah mendengar laporan langsung dari masyarakat Aceh dan melakukan investigasi ke lapangan, ditemukan kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia). Dari investigasi itu kita paripurnakan ke DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan hasil rapat paripurna kita mendesak pemerintah untuk mencabut status Aceh dari DOM," cerita Ghazali, menggebu-gebu.

Saat melakukan kunjungan itulah Ghazali menganggap ada usaha pembantaian etnis sejak pemberlakuan DOM, dan presiden Soeharto bertanggung jawab atas tragedi kemanusian ini. Selain itu, Ibrahim Hasan, gubernur Aceh di masa tersebut, ikut pula bertanggung jawab.

Setelah Gazali, giliran Azriana memberi pendapatnya tentang Soeharto. Azriana adalah Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK). Dia berkaca minus, bicaranya teratur dan jelas.

RPUK berdiri pada 2 Juni 1999 dengan tujuan membela hak perempuan dan anak-anak di pengungsian dan pasca pengungsian.

Pada 1999, di Aceh marak dengan aksi pengungsian akibat konflik bersenjata Tentara Nasional Indonenesia (TNI) dan GAM. Warga desa mengungsi ke tempat yang mereka anggap aman, seperti masjid dan sekolah.

Menurut Azriana, gerakan perempuan dibendung saat pemerintahan presiden Soeharto. Perempuan dikebiri dalam ranah-ranah publik dan politik melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

"Selama 32 tahun perempuan adalah sosok di belakang suaminya,"ujarnya.

Azriana menganggap  semasa pemerintahan Soeharto, politikus perempuan secara sistematis "dihilangkan". Itulah yang membuat orang kelak beranggapan bahwa perempuan tidak punya kualitas dalam berpolitik.

"Sedikitnya 102 orang perempuan menjadi korban pemerkosaan tentara di masa DOM. Dan hanya satu kasus pemerkosaan saja yang disidangkan, selebihnya dibiarkan mengambang tanpa kejelasan. Jadi bagi gerakan perempuan, tidak ada tanda jasa untuk Soeharto," tegas Azriana.

Reza Idria dari Komunitas Tikar Pandan menyambung pernyataan Azriana. Komunitas Tikar Pandan merupakan perkumpulan masyarakat sipil yang menjadi pusat kajian dan pemberdayaan rakyat dalam bidang kebudayaan untuk mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial di Aceh.

"Pada masa Orba (Orde Baru), pemerintah pusat membentuk lembaga kesenian daerah sebagai alat suara politik pemerintah ketika itu. Kehidupan seniman dijadikan masyarakat yang marjinal. Pemutusan hak informasi dan melarang penerbitan buku-buku sejarah sebagai upaya mengaburkan fakta sejarah, ini adalah pembodohan secara sistematis," kata Reza.

Lagu-lagu tradisional Aceh yang dinyanyikan kelompok musik Nyawoeng, misalnya dilarang beredar di pasaran. Lagu-lagu itu dituduh mengajak orang Aceh melawan pemerintah. Sejak DOM berlaku, lagu-lagu dan seni tradisional Aceh tidak berkembang. Penyebabnya tak lain dari represi militer.

"Selanjutnya Rahmat Djailani dari PRA yang menyampaikan pandangannya," pinta Hendra

PRA singkatan dari Partai Rakyat Aceh. PRA didirikan  sejumlah aktivis Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh pada 2 Maret 2006. Front itu adalah pengembangan dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat atau SMUR, organisasi mahasiswa pro demokrasi di Aceh.

SMUR berafiliasi dengan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi atau LMND, organisasi semilegal Partai Rakyat Demokratik atau PRD. Partai ini dinyatakan resmi sebagai partai terlarang di masa Soeharto. Anggota dan pengurusnya yang terdiri dari anak-anak muda berusia 20-an ditangkap dan dipenjarakan. Mereka baru dibebaskan di masa pemerintahan presiden Habibie.

Rahmad Jailani bertubuh agak gemuk. Rambutnya cepak. Nada bicaranya keras

"Partai politik yang berkuasa waktu itu hanya boleh satu partai. Bagi kami hal ini bertentangan dan melanggar dengan falsafah dan ideologi Pancasila, yang mengajarkan tata cara berpolitik dan menjunjung tinggi HAM," ujar Rahmad.

Menurut Rahmad,  jika pemerintah Indonesia menganugerahi Soeharto gelar pahlawan nasional,  artinya pemerintahan sekarang berkhianat pada Pancasila.

Orde Baru melakukan penyederhanaan jumlah partai politik. Ada tiga partai politik resmi yang ditetapkan negara di masa Soeharto: Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokarasi Indonesia, dan partai pemerintah, Golongan Karya.

Mukhtaruddin memperoleh giliran bicara sesudah Rahmad. Dia ketua umum Aliansi Jurnalis  Independen (AJI) kota Banda Aceh. Mukhtaruddin terlambat datang, sehingga kursinya terletak di belakang. Dia segera melangkah ke depan.

"Waktu itu hanya satu organisasi pers diizinkan berdiri yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dan ruang gerak kebebasan pers dipersempit dengan mengesahkan Undang Undang Pers Nomor 11 Tahun 1966," katanya.

Berdasarkan undang-undang itu, organisasi pers ialah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers yang disahkan pemerintah.

"Ketika Undang Undang itu berlaku di Indonesia, semua wartawan mesti terlebih dahulu terdaftar sebagaiPWI," kata Mukhtaruddin.

PWI berdiri pada 1946. Semula PWI dimaksudkan sebagai wadah bagi para wartawan pejuang yang demokratis, tapi dalam perkembangannya PWI telah dijadikan "kuda tunggangan" politik kekuasaan Orde Baru.

Sebagian pembicara usai menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap rencana pemberian gelar pahlawan pada Soeharto dengan mengungkap perbuatan-perbuatan sang almarhum di masa hidupnya. Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa. Dia meninggal dunia dua tahun lalu.

Moderator pun membuka sesi tanya-jawab sesudah Mukhtaruddin menyampaikan pendapatnya.

Namun, Nurdin Hasan dari Serambi Indonesia malah mempertanyakan keakuratan data tentang korban rakyat sipil ketika pemberlakuan DOM yang dimiliki KMSA.

Hendra Fadli bereaksi. Dia menyatakan bahwa titik berat masalah DOM bukan sekadar jumlah, melainkan unsur kejahatan sistematis dan meluas. Kejahatan di masa DOM itu masuk dalam ranah kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.

Pemerintah Orde Baru memberlakukan DOM di Aceh untuk menghentikan perlawanan GAM.

Gerakan menentang Jakarta dimulai ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 1976, yang kelak dijuluki Gerakan Aceh Merdeka atau GAM oleh Soeharto.

Tiro  ingin Aceh menjadi negara berdaulat. Dalam pandangan Tiro, konflik ini dipicu oleh tindakan penjajah kolonial Belanda mengambil kedaulatan dari kerajaan Aceh pada 1873. Ketika Belanda angkat kaki dari Indonesia, Belanda tidak ikut mengembalikan kedaulatan kerajaan Aceh, melainkan menyerahkannya kepada kolonialis Jawa di tahun 1949.

Dengan alasan menumpas perlawanan bersenjata GAM yang kemudian dijuluki lagi sebagai Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT), Soeharto menerapkan DOM dengan sandi “Operasi Jaring Merah” atas permintaan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada 1989.

Pada 31 Agustus 1998, Habibie, presiden setelah Soeharto, mencabut status DOM. Dia memerintahkan Panglima TNI Jenderal Wiranto  untuk menarik seluruh pasukan non-organik dari Aceh. Di masa pemerintahan Habibie pula, di bawah tekanan dunia internasional, Timor Leste menyelenggarakan referendum dan memperoleh kemerdekaannya.

Sebuah temuan investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di tahun 1998 memperkirakan 3000 perempuan menjadi janda dan 15.000 sampai 20.000 anak-anak Aceh menjadi yatim piatu.

Berdasarkan verfikasi KMSA, dalam kurun waktu sepuluh tahun saja tercatat 871 orang meninggal karena tindak kekerasan, 387 orang hilang kemudian ditemukan meninggal, 550 orang hilang, 368 korban penganiayaan, 120 korban dibakar rumahnya, serta 102 perempuan korban perkosaan. Ini belum termasuk kasus yang tak tercatat.

Pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

Dalam butir 2.2.2 Perjanjian Helsinki tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa sebuah pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh dan  butir 2.2.3 juga menegaskan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

Namun, butir mengenai HAM dalam Perjanjian ini hanya sebatas teks saja.  KKR tidak pernah terbentuk, sedang statusnya yang bersifat nasional malah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

Usai menjawab pertanyaan Nurdin, Hendra menyilakan Tengku  Faisal Ali bersuara.  Faisal ketua Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Aceh.  NU adalah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia dan di dunia, berdiri pada 31 Januari 1926.

Tapi pagi itu  Faizal Ali tidak datang dengan membawa nama NU. Dia mengatasnamakan Pimpinan Pesantren Mahyal Ulum Al-'Aziziyah, pesantren tradisional yang berada di Sibreh, Aceh Besar.

Nada bicaranya santun. Dia membuka pembicaraan dengan saran, "Yang sangat pantas untuk almarhum Soeharto adalah kita mendoakan agar dia diampuni dosa-dosanya oleh Allah, itu yang sangat pantas bagi almarhum."

"Tapi, berkenaan dengan gelar pahlawan. Ini adalah persoalan kemanusiaan. Masih banyak orang yang pantas didahulukan dari beliau. Soeharto belum saatnya mendapatkan gelar itu," kata Faizal.

Selesai Faizal bicara,  giliran Hospinovizal Sabri dari Lembaga Bantuan Hukum-Banda Aceh berkomentar.

Hospinovizal menyebutkan bahwa pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto akan berkontradiksi dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2009 Pasal 2 yang pemberiannya berasaskan kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, keteladanan, kehati-hatian, keobjektifan, keterbukaan, kesetaraan, dan timbal balik.

"Sampai saat ini, dengan status hukum mantan presiden Soeharto yang tidak jelas karena tidak ada upaya hukum apapun yang dilakukan pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM, dan ini menjadi rasa ketidakadilan bagi korban HAM," katanya.

Askhalani dari Gerakan Anti Korupsi atau GERAK menyambung Hospinovizal. Menurutnya, Soeharto adalah pemimpin terkorup di dunia.

"Tak sewajarnya dia mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah.  Pengusutan kasus korupsi Soeharto terlampir dalam Tap MPR nomor 11 Tahun 1998, yang dalam salah satu pasalnya mengamanatkan penuntasan proses hukum terhadap mantan Presiden Soeharto," tuturnya.

Setelah para pembicara usai menyatakan pandangan mereka, moderator membuka sesi bertanya kembali. Seorang perempuan langsung mengajukan pertanyaan yang sebenarnya lebih mirip pernyataan.

"Seharusnya kejahatan HAM yang dilakukan Soeharto diajukan ke mahkamah internasional. Dia adalah penjahat perang, sama halnya dengan mantan presiden Slobodan Milosevic. Dia sama sekali tak pantas jadi pahlawan," ujar Maryati. Dia perwakilan dari Forum Akademisi Aceh.

Slobodan Milosevic adalah mantan pemimpin Serbia-Bosnia. Dia dianggap paling bertanggung jawab terhadap  pembantaian atau  atau genosida di Bosnia dan Kroasia. Kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya telah menyeret Milosevic ke meja hijau Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda. Pada 11 Maret 2006, ia meninggal di sel tahanannya.

Reaksi pro dan kontra pun mulai muncul. Seorang di kursi belakang menyatakan bahwa orang juga tak boleh menutup mata atas keberhasilan pembangunan yang dilakukan Soeharto.

"Di masa kepemimpinannya, Indonesia dijuluki "macan Asia".  Bagaimana menurut pandang anda dengan hal itu?" tanya orang tersebut.

Soeharto juga pernah dianugerahi United Nations Population Award, penghargaan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang kependudukan melalui program Keluarga Berencana.

Penghargaan itu disampaikan langsung dalam sebuah upacara di Markas Besar PBB di New York, bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989.

Reza Idria dari Komunitas Tikar Pandan menanggapi pertanyaan itu.

Menurut Reza, gelar bapak pembangunan yang diperoleh Soeharto dulu dan julukan Indonesia sebagai macannya asia  tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Soeharto juga. Di masa pemerintahannya, media dikuasai penuh oleh negara dan negara menggunakan media sebagai corong kekuasaannya.

"Cukup gelar istilah bapak pembangunan saja untuk Soeharto, tidak harus pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional," tukas Azriana.***