Thursday, April 30, 2009

Dulu Mencoblos, Sekarang Mencontreng

Aceh Feature, 11 April 2009


SAMSUL Bahri berdiri tegap. Seragam anggota Perlindungan Masyarakat (Linmas) menutupi tubuh langsingnya. Dia salah seorang pengaman Tempat Pemungutan Suara atau TPS di kelurahan Masjid Tuha. Dua TPS di situ disediakan untuk 1.217 pemilih.

Dua TPS ini berada di pekarangan masjid. Suasananya masih sepi. Hanya panitia Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Linmas yang terlihat sedang menata logistik.

Pagi itu, Kamis, 9 April 2009. Langit mendung. Jarum jam menunjuk pukul 07.00. Hanya satu dua kendaraan yang lalu-lalang di jalanan. Daerah ini terletak di Meureudu, ibukota kabupaten Pidie Jaya.

Setelah jarum jam sedikit melewati pukul 08.00, pemilih mulai memadati TPS. Tajuddin Saman datang lebih awal. Perawakannya kecil. Sesekali dia melempar senyum pada saya. Dia terdaftar sebagai pemilih tetap.

“Nyoe laen ngon Pemilu awai. Kon coblos, tapi contereng (Pemilu kali ini beda dengan sebelumnya. Bukan coblos, tapi contereng),” tutur Tajuddin.

Formulir pemilih telah dikumpulkan kepada panitia. Dua anggota Linmas mengatur jalur masuk ke TPS. Pemilih menunggu dengan sabar.

“Tajuddin Saman,” panggil Idris Ismail lewat mikrofon. Dia anggota KPPS.

Senyum Tajuddin lebar ketika melangkah ke bilik suara. Dia pemilih pertama di pagi itu.

“Hana polpen lagoe. Ngon peu lon contereng keureutah suara jih (Kok tidak ada pulpen. Dengan apa saya mencontereng kertas suaranya),” katanya, ke arah KPPS.

“Alahai…peuduk polpen bak bilek suara (Sediakan pulpen di bilik suara),” perintah Ahmad Tarmizi. Dia ketua KPPS.

Aisyah berdiri gemetar di samping bilik TPS. Gigi tak lengkap lagi di gusinya. Kulitnya keriput. Umurnya 75 tahun.

“Mak lon. Peu jeut bah lon mat mantong u bilek suara (Ibu saya. Apa boleh saya tuntun ke bilik suara)?” kata Nur Yani.

Saya melihat mereka melangkah bersama ke bilik suara. Aisyah hanya mengikuti langkah anaknya. Setelah mereka keluar dari bilik itu, saya menghampiri keduanya.

“Hana lon tohoe tan tempat meumileh, mata karabon (Saya tidak tahu tempat memilih. Mata saya sudah rabun),” tutur Aisyah.

“Kiban geucontereng? Meudeuh geu eu tan lee. Lon contereng-contereng laju (Bagaimana mencontereng? Penglihatannya saja tidak jelas lagi. Saya contereng-contereng saja),”
tukas Nur Yani.

Ya, tata cara pemungutan suara untuk pemilihan umum kali ini berbeda. Sebelumnya dengan cara mencoblos. Tapi sekarang dengan cara memberikan tanda centang atau garis di bagian partai politik atau nama calon legislatif yang dipilih.

“Mangat lagee awai. Tinggai ta coblos (Gampang seperti dulu. Cuma mencoblos),” keluh Aisyah.

Menjelang siang, suasana mulai sesak di TPS. Banyak pemilih mengantri, menunggu memilih. Di situ tertera jadwal melakukan pemungutan suara. Dimulai pukul 07.00 dan diakhiri pukul 12.00.

“Pak, peu hana masalah menyoe meulanggar dari watee nyan di teuntukan KIP (Pak, apa tidak bermasalah melanggar dari waktu yang ditentukan KIP)?” tanyaku.

“Insyallah hana meusalah (Insyallah tidak ada masalah),” jawab Ahmad Tarmizi.

“Tabuka awai TPS hana peumileh, tatop poh 12.0. peumileh mantong ramee that (Dibuka lebih awal TPS tidak ada pemilih, ditutup pukul 12.00 pemilih masih banyak),” lanjutnya.

Azan shalat dzuhur terdengar sayup-sayup dari masjid. TPS ditutup sejenak. Lepas shalat dan makan siang, TPS ini akan dibuka kembali.

Dari TPS 1, saya mendatangi TPS 2. Di situ terdaftar 617 pemilih tetap. Namun, hingga TPS ditutup, baru 409 pemilih yang menggunakan hak suara. Sisanya, 208 pemilih tidak menggunakan hak suara mereka.

Sebuah teratak kecil tegak di luar pekarangan mesjid. Becak mesin diparkir di sampingnya. Sekumpulan anak muda duduk di atas becak mesin itu.

“Ka meunang Peurete Aceh (Akan menang Partai Aceh),” kata salah seorang dari mereka.

Namanya, Idrus Sulaiman. Dia warga desa Lhoknga. Dia saksi untuk Partai Aceh di pagi itu.

“Nyoe untuk pusat Peurete Demokrat. Kareuna SBY Aceh nyoe ikot dame (Kalau untuk pusat Partai Demokrat. Karena SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) Aceh ini ikut damai,” tambahnya, sambil menghisap rokok.

Udara bertambah dingin. Rintik-rintik hujan mulai turun. TPS mulai sepi.

Tiba-tiba seorang pria masuk.

“Nyoe kajeut hitong suara (Ini sudah bisa dihitung suaranya)!” seru si pria

Serentak beberapa orang berlarian ke TPS 1, termasuk saya.


Jam menunjukan pukul 15.17 saat penghitungan suara. Saya sempat melirik jam di telepon seluler saya. Kertas penghitungan suara telah ditempelkan. Kertas suara pun mulai dihitung. Kotak suara Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Aceh yang dibuka pertama kali. Idris Ismail mulai menghitung.


“PAN 1!” teriaknya, lantang. Dia menyebut nama partai dan nomor urut calon legislatif. PAN singkatan dari Partai Amanat Nasional.

Para saksi menyimak dengan teliti. Nur Mahdi tidak mencatat. Dia hanya menunggu Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) disebutkan dengan lantang. Dia saksi partai tersebut.

“PA 1, PA 1, PA 6!” PA singkatan dari Partai Aceh.

“Ka meunang kali nyoe Aceh (Sudah menang kali ini Aceh)!” teriak seorang pria dari kerumunan.

Tangan Rozinur dengan gesit menarik garis tegak lurus di kertas penghitungan suara. Telinganya tajam mendengar.

“ Peurtei peu, nomoi padum (Partai apa, nomor berapa)?” tanya Rozinur.

“39, partai…!”

Tangannya nyaris menarik garis tegak lurus untuk Partai Aceh.

“Hoe..hoe…dile, salah (Tunggu dulu, salah)!,” seru Idris Ismail.

Semua orang yang berkerumun setuju. Pasalnya, kertas suara itu adalah suara untuk memilih Dewan P erkawilan Rakyat Kabupaten (DPRK).

“Ka di tuleh (Sudah dicatat),” kata saksi.

“Galom, galom (Belum, belum),” tukas Rozinur.

“Peutugas peuncatat beklaloe (Petugas pencatat jangan lalai),” tegur Samsul Bahri.

Jam menunjukkan angka empat. Penghitungan suara masih berlangsung. Hanya seorang polisi yang berjaga. Pistol di pinggangnya.

“Satu suara menentukan bangsa,” teriak Idrus Muhammad Amin.

“Teuman peu chit tapileh (Kalau tidak, untuk apa kita pilih),” teriaknya, lagi.

“Nyoe… nyoe..(Iya… iya)!”

“Peurete lokal ta pileh, PA nyang meujuang keu Aceh (Partai lokal kita pilih, PA yang berjuang untuk Aceh),” kata Abdullah.

Idrus Muhammad Amin menghampirinya. Mereka langsung berdebat. Saya pun menghampiri mereka.

“Peu dipeugah jih (Ngomong apa dia)?” kata Idrus pada saya.
“Nyoe hai, awak nyan ka treb meujuang (Benar, mereka sudah lama berjuang),” sahut Abdullah.

“Nyan nyang deuh ngon mata (Itu yang nampak dengan mata),” tambah Idrus.

Saya hanya tersenyum melihat mereka.

“Kiban meunurut droe keuh (Gimana menurut kamu)?” tanya kedua lelaki ini, serentak.

Saya tidak menjawab.

Saat tengah asyik berbicara dengan mereka, kerumunan orang mulai melangkah ke tempat kertas penghitungan suara ditempel. Penghitungan sementara untuk DPRD dan DPRK telah usai.

Partai Aceh unggul. Untuk tingkat DPRD, mereka memperoleh 337 suara. Sementara untuk DPRK, 180 suara.

Anak dalam Kampanye Partai

Aceh Feature, 7 April 2009

MULUTNYA terkatup rapat mendengar suara gegap-gempita itu. Dia menatap tajam ke depan. Sesekali dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tak berapa lama tangannya ikut mengepal lalu diacungkannya ke langit, mengikuti tindakan yang lain. Muhammad Zahlul namanya. Usia delapan tahun.

“Hidup SIRA!” pekiknya.

Sore itu, Senin 23 Maret 2009, lapangan bola kaki di desa Blang Cut dipadati ratusan simpatisan Partai SIRA. Zahlul berada di antara mereka. Bajunya putih bersih. Lambang Partai SIRA tercetak di baju itu.

“Nyoe bajee SIRA (ini baju SIRA),” katanya, sambil menarik bajunya.

“Soe joek bajee nyan (siapa kasih baju itu)? Tanyaku.

“Mak lon (ibu saya),” jawabnya .

Ya, pada hari itu Partai SIRA tengah menggelar kampanye terbukanya. SIRA singkatan dari Suara Independen Rakyat Aceh.

Muhammad Nazar penggagas partai ini. Kini dia wakil gubernur Aceh. Sebelumya SIRA adalah organisasi gerakan yang dimotori mahasiswa dengan nama Sentral Informasi Referendum Aceh. Dulu ia giat memperjuangkan isu referendum untuk Aceh.

Kesepakatan damai pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada Agustus 2005 lalu melahirkan Undang Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006 tentang pemberian kekuasaan kepada rakyat Aceh untuk berserikat dengan membentuk partai lokal. Maka pertengahan Desember 2007, SIRA menjelma organisasi politik dengan akronim yang sama.

“Dek, teupeu SIRA nyan peu (dek, tau SIRA itu apa)?” tanyaku, lagi.

“Han (tidak)!!” jawab Zahlul.

“Peu buet keunoe shit (untuk apa juga ke sini)?”

“Jak deungo ceuramah (mau dengar ceramah),” jawabnya.

Juniah duduk bersila beralaskan rumput. Dia mengenakan baju berlambang Partai SIRA. Kerudung coklat kontras dengan baju biru muda itu. Tatapannya lurus ke depan. Muhammad Zahlul adalah anaknya.

“Pakon neumee si nyak droeneuh bak kampanye SIRA (kenapa bawa anaknya di kampanye SIRA)?” tanyaku.

“Jih dilake seutot (dia minta ikut),” jawab Juniah.

“Lon lake jak keudroe (saya minta ikut sendiri),” tukas Zahlul, riang.

Di belakang panggung, Chairani Zainal Abidin dikerumuni para wartawan. Dia baru saja menyampaikan kampanye politiknya. Kilat kamera leluasa menyambar ke arahnya. Dia ketua panitia kampanye Partai SIRA pada sore itu.

Tidak ada atribut Partai SIRA melekat padanya. Dia mengenakan kerudung biru muda, warna partainya.

“Kenapa banyak anak-anak ikut serta dalam kampanye?” tanyaku pada Chairani.

“Tidak ada anak-anak yang kami libatkan. Di sekitar ini adalah kawasan padat penduduk. Barangkali anak-anak penasaran dengan keramaian. Dan kami tidak mengajak anak-anak untuk ikut serta. Kami tahu aturan, dalam politik dilarang melibatkan anak-anak,” ujarnya.

Sudah sepekan kampanye terbuka berlangsung. Anak-anak bahkan terlihat ikut serta dalam kampanye partai politik. Apakah keterlibatan anak-anak adalah bentuk pelanggaran aturan Pemilihan Umum (Pemilu)?

Undang Undang Nomor. 10 tahun 2008 pasal 84 ayat 2 tentang Pemilu menyebutkan di dalam kegiatan kampanye, Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih dilarang diikutsertakan.

Dan hal itu juga tercantum dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 tahun 2008 pasal 26 ayat 2 tentang pelaksana kampanye.

Setiap pelaksana kampanye yang melanggar larangan ini akan terkena pidana penjara paling singkat tiga bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp30 juta dan paling banyak Rp60 juta.

“Keterlibatan anak-anak dalam kampanye politik adalah pelanggaran Pemilu, dan Panwaslu akan memantaunya,” kata Abdul Salam Poroh. Dia ketua Komisi Independen Pemilihan-Aceh atau disingkat KIP Aceh

Panitia Pengawas Pemilu atau Panwaslu merupakan lembaga yang didirikan untuk menjaga agar proses pelaksanaan pemilu benar-benar sesuai dengan asas langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Panwaslu bekerja pertama kali pada Pemilu 1982 silam.

SORE itu, lewat sedikit dari pukul lima, aku tiba di muka kantor Panwaslu. Di situ aku menemui Nyak Arif Fadillah. Dia ketua Panwaslu Aceh. Arif kelahiran Aceh Selatan, 37 tahun lalu.

“Sebelumnya Panwaslu sudah memperingatkan dan menjelaskan kepada partai-partai politik yang menjadi larangan dalam kegiatan kampanye, dan Panwaslu akan menginvestigasi hasil temuan itu,” tuturnya, tegas.

Menurut Nyak Arif Fadillah, anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam kampanye politik dengan sengaja menyediakan atribut partai sesuai dengan ukuran anak-anak.

Tidak hanya Undang Undang Pemilu yang melarang keterlibatan anak-anak dalam kampanye politik, tapi tapi pasal 87 Undang-Undang Perlindungan Anak juga mencantumkan hal serupa.

Pelanggaran atas ketentuan itu akan menuai sanksi pidana penjara selama lima tahun kurungan penjara dan denda maksimal Rp100 juta.

Namun, pelaksanaannya sering terbentur hal-hal praktis.

“Lazimnya kampanye itu diadakan di lapangan terbuka dan tidak ada pengawasan khusus. Siapapun yang lewat, bahkan anak-anak pasti akan melihat kampanye itu,” tutur Fauzi Muhammad Daud Ali.

Dia ketua Kelompok Kerja Pemantau Evaluasi, Pengkajian dan Pelaporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Aceh. Komisi ini baru dibentuk di Aceh pada 7 Februari 2007.

“Dalam hal ini, apakah partai politik yang patut disalahkan? Orang tua seharusnya yang patut diarahkan. Tapi jika ada temuan mengorganisir anak untuk ikut serta dalam kampanye politik, itu adalah pelanggaran dan kami akan melaporkannya ke Panwaslu,” katanya.

Tapi pelaporan pun ada tata caranya. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2003 yang mendasari keputusan Panwaslu nomor 9 tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu. Keputusan tadi mengatur siapa yang berhak melapor, prosedur penyampaian pelaporan serta jangka waktu penyampaian pelaporan. Karena itu, keputusan ini juga menentukan formulir penerimaan laporan, formulir hasil pengkajian serta formulir penerusan laporan ke lingkungan Komisi Pemilihan Umum maupun penyidik kepolisian

“Kerja sama masyrakat sangat membantu kerja Panwaslu. Sulit untuk menindaklanjuti hasil temuan pelanggaran Pemilu jika tidak ada yang mau menjadi saksi dan tidak ada surat laporan secara resmi masuk ke Panwaslu,” kata NyakArif Fadillah.

Sampai batas usia berapa orang masih disebut anak-anak?

“Sesuai dengan Undang Undang Pemilu, umur 17 tahun ke atas sudah memiliki hak pilih, dan sudah bisa ikut serta dalam kampanye partai politik.,” katanya.

Batasan umur ini berbeda dengan Undang Undang Perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, tidak dibatasi kawin atau belum kawin.

“Itu berlaku asas lex spesialis derogad lex generalis,” tukas Arif. Artinya, peraturan khusus menyampingkan peraturan yang umum.

Kini Pemilu tinggal menghitung hari. Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu telah mendata jumlah pelibatan anak-anak selama 10 hari masa kampanye. Ada 99 kasus yang mereka terima laporannya dari Panwaslu di seluruh Indonesia, sejak 16 Maret hingga 25 Maret 2009.