Friday, March 6, 2009

Kupi Ulee Kareng


Asap putih mengumpal ke atas saat ineuleuk itu dibuka. ineuleuk adalah oven penyulingan yang berbahan campuran besi dan baja. Bara api dengan setianya menjilati bagian bawah ineuleuk yang terus berputar-putar dengan bantuan generator. suhu panas terasa di areal penyulingan itu.
Tangan Abdur Razak sekali-kali mengusap keringat di wajahnya. Umurnya sekitar 30-an. Baju warna hijau yang dia kenakan sudah luntur dan kusut dimakan usia. Perawakannya kecil, tangannya lihai mengaduk biji kopi yang mulai gosong di dalam ineuleuk itu. Dia mengolah biji kopi mentah menjadi bubuk kopi yang dipersembahkan untuk penggila kopi.

Abdur Razak tiga hari sekali dalam seminggu menghabiskan waktunya di kubangan asap pabrik warung kopi solong. Solong adalah warung kopi yang berada di Ulee Kareng. Tiap hari dia memperoleh penghasilan sebesar Rp 50.000 dari hasil upah kerjanya.

Warung kopi ”solong”, di Banda Aceh menjadi pangkalan penikmat kopi Ulee Kareng. Warung kopi, bukan tempat langka di jumpai di Aceh. Warga Aceh menjadikannya tempat untuk bersantai sampai berdiskusi berjam-jam lamanya. Ibarat jamur tumbuh di musim hujan, begitulah perumpamaan bisnis warung kopi di Aceh.

Malam itu, 14 April 2008 suasana warung kopi solong terasa riuh. Dari sekian banyak meja dan bangku, bisa di hitung dengan jari tempat yang tidak ditempati.

"Peugot kupi lhee boh glah, beu keuntal bacut bang beuh (buatkan kopi tiga gelas yang kental di raciknya)", pinta Muklis Ilyas anak kelahiran Meureudu.

Kental, ya, itulah selera sebagian penikmat kopi. Muklis bisa dikatakan pecinta kopi berat, tiap hari dia menyempatkan waktu luang untuk menikmati secangkir kopi. Dia masih status mahasiswa. Muklis merupakan langganan tetap warung kopi solong.

”Beda mantong ngon rasa kopi di warong laen, maka jih ka jeut pecandu kopi solong (beda aja rasa kopinya di warung lain, makanya jadi pecandu kopi solong),” ungkapnya.

Pemilik Warung kopi solong, Haji Nawawi bercerita, solong itu adalah nama panggilan untuk almarhum ayahnya Haji Muhammad ketika berkerja di warung kopi milik orang Cina. Kini nama itu diabadikan Nawawi sebagai nama usaha warung kopinya.

Mulanya Haji Muhammad yang merintis usaha warung kopi Ulee Kareng pada tahun 1980-an. Warung itu cuma terbuat dari bahan kayu-kayu seadanya. Dia mengolah biji mentah di rumahnya, ketika itu alat yang digunakan masih bersifat tradisional, Ineuleuk-nya hanya mengandalkan bantuan tangan untuk menggerakkannya agar berputar. Karena pada waktu itu belum ada pengusaha lokal warung kopi di Ulee Kareng, lambat laun usaha warung kopinya bertambah maju. Dari sinilah, Pada tahun 1982 Haji Nawawi merintis perpanjangan tangan usaha warung kopi milik ayahnya.

Pengolahan bubuk kopi masih diwarisi Nawawi. Alat pengolahan biji kopi tradisional kini telah tenggelam oleh kemajuan teknologi, ineuleuk memakai perangkat generator menjadi modal utama bagi usaha warung kopi solong. Dulu hanya bisa memproduksi olahan bubuk kopi 10 kilo gram, kini telah mampu memproduksi 300 kilo gram bubuk kopi perharinya.

Biji kopi solong di pasok dari Geumpang, Pidie dan Lamno, Aceh Jaya. Tiap bulannya memasok 4 ton kopi mentah, dan menghabiskan 2 ton kopi olahan tiap bulannya. Harga biji kopi di pasaran bisa mencapai Rp 30.000/kilo gram.

’’Biji kopi Geumpang dan Lamno tidak banyak ampasnya, dan kami memadukan keduanya pada waktu pengolahan,” unkap Hasbalah. Dia adalah penanggung jawab pada pabrik pengolahan bubuk kopi solong.

”Bubuk kopi solong” nama merek dagangnya. Walaupun tidak merintis kebisnis penjualan bubuk kopi dan belum terdata oleh Dinas Industri dan Perdagangan, tapi masih banyak orang yang mengincar bubuk kopi solong. Bubuk kopi made in solong di jual Rp 60.000/kilo gram.

Modal yang menjadi alasan bubuk kopi solong tidak di pasarkan. Akibat keterbatasan modal itulah bubuk kopi solong hanya bisa dinikmati bagi penikmat kopi langganan warung kopi solong.

"Permasalahan modal dan tenaga kerja yang menjadi alasan kami tidak merintis bisnis perusahaan bubuk kopi," ungkap Nawawi.

Pemilihan biji kopi yang berkualitas tahap awal untuk menghasilkan bubuk kopi bermutu tinggi. Bahan bakar juga menentukan aroma dari bubuk kopi itu. Kayu menjadi bahan bakar waktu melakukan penggosongan biji kopi.

Pada saat penggosongan, 80 kilo gram biji kopi di campur dengan 4 kilo gram gula dan 4 kilo gram margarin. Sekali-kali diaduk dengan menggunakan alat pengaduk dari kayu, supaya gula dan margarin menyatu dengan biji kopi

"Gula dan margarin, kunci kenikmatan bubuk kopi solong," unkap Hasbalah.

Lama waktu Penggosongan dilakukan selama dua jam. Dan tahap terakhir, biji kopi yang sudah gosong di jemur. Penjemurannya bukan pada terik matahari.

Walaupun Nawawi mempunyai pabrik pengolahan bubuk kopi, dia tidak merintis usaha penjualan bubuk kopi berskala pasaran untuk di konsomsi oleh penikmat kopi di Aceh maupun luar Aceh. Akan tetapi olahan bubuk kopi solong tetap menjadi bursa pasar pecandu kopi. Bahkan ada orang asing yang menjadikan bubuk kopi solong untuk cendramata.

"Sebenarnya kami bukan bisnis penjualan bubuk kopi, tapi usaha warung kopi. Bubuk kopi hasil olahan hanya untuk penikmat kopi di warung kopisolong, namun pelanggan ada juga membeli bubuk kopinya saja" ungkap Nawawi.