Friday, March 21, 2008

Dokter Musally


pantau, 14 Maret 2008


HARI itu, Kamis 10 Mei 2001 pukul 16.15. Sebuah bom meledak di Asrama Yayasan Kesejahteraan Iskandar Muda, di Jalan Tangkuban Perahu Nomor 1, Manggarai, Jakarta Selatan. Gelegar suaranya terdengar hingga radius dua kilometer. Ledakan itu meluluhlantakkan isi asrama dan bangunan di sekitarnya serta sebuah mobil sedan warna biru metalik bernomor polisi B-1610-V.

Warga di dalam dan luar asrama panik. Beberapa orang penghuni asrama menjadi korban. Belly, Du, dan Cekwi serta Abu sang perakit bom meregang nyawa. Asrama itu pangkalan para aktivis mahasiswa. Teuku Musally, juga salah satu korban. Ia tertimbun puing-puing bangunan.

Tim Gegana Kepolisian Daerah Metro Jaya melakukan penelusuran di Tempat Kejadian Perkara atau TKP. Dari penelusuran itu polisi menemukan dua bom aktif yang belum meledak. Di hari berikutnya, 11 Mei 2001, tim Gegana menemukan 300 bom molotov persis di belakang asrama tersebut.

Tak lama setelah itu kepolisian menerbitkan hasil penyelidikan mereka. Kepala Polisi Daerah Metro Jakarta Raya (Kapolda Metro Jaya) Inspektur Jenderal Sofyan Yakub menyatakan bahwa aktivis Aceh terlibat dalam kasus ledakan itu. Salah satunya, Musally.

Bagi Musally, hari ini seolah akhir dari kesempatannya menghirup udara kebebasan. Polisi membawanya ke tahanan. Dugaan polisi, dia adalah anggota komplotan perakit bom. Bukan cuma itu, komplotan ini dianggap termasuk jaringan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melakukan teror di Jakarta.

Buntutnya, Musally dijerat pasal 106 sampai dengan pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang makar.

Namun, lelaki itu ternyata masih diberi kesempatan melanjutkan hidupnya sampai hari ini. Dia yang hadir di hadapan saya di hari tersebut berpenampilan sederhana, suatu hari di bulan Februari 2008.

Teuku yang menjadi nama depannya menandakan bahwa ia masih keturunan bangsawan di Aceh. Orang Aceh lebih mengenal kata “bangsawan” dengan sebutan ”ulee balang”, artinya orang yang dipercayakan raja untuk memimpin sebuah wilayah di masa dulu.

Musally kelahiran Meureudu, Pidie Jaya, 22 November 1965 silam. Dia anak sulung dari enam bersaudara pasangan Teuku Gadeng dengan Cut Meurah.

Masa kecilnya dihabiskan di kampung kelahirannya. Sedari kecil dia telah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mandiri dan menghargai waktu. Agenda kegiatan sehari-hari telah ia catat di dalam buku hariannya. Dari waktu belajar sampai bermain. Biasanya dia menghabiskan waktu bermain di tepi pantai. Rumahnya terletak di pesisir.

Tahun 1984, Musally resmi menyandang status mahasiswa Diploma III Ekonomi, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Tahun 1986, untuk yang kedua kalinya dia kembali mengikuti ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan lulus seleksi di Fakultas Kedokteran. Kesibukan perkuliahan kini dia jalani di dua fakultas yang berbeda. Di tahun 1987 dia menyelesaikan Diploman III di Fakultas Ekonomi.

Di bangku kuliah, pemikirannya sudah mulai kritis. Dinamika politik Aceh dan nasional terus dia ikuti. Konflik yang berkepanjangan membuatnya tidak ingin berpangku tangan di bangku kuliah. Dia mulai mempelajari aktivitas GAM, nama yang tidak asing lagi di telinga Musally. Karena sebagian keluarga dekatnya aktif dalam gerakan ini.

Setelah salah satu keluarga dekatnya tertangkap, yakni Ayah Rahman atau lebih akrab dipanggil Ampon Raman Cot Makasoe, Musally makin bersimpati pada GAM. Cot Makasoe adalah nama desa yang berada di kecamatan Trieng Gadeng, kabupaten Pidie Jaya.

“Saya memutuskan bergabung dengan GAM setelah melihat perlakuan diskriminatif aparat kepada keluarga maupun masyarakat Aceh,” katanya.

Dia bergabung dengan GAM pada tahun 1986, ketika masih kuliah di Unsyiah. Walaupun sudah bergabung dengan GAM, kuliahnya tidak ditinggalkan. Dia tidak bergerilya dari hutan ke hutan seperti yang dilakukan oleh pejuang GAM lainnya.

Jalinan komunikasi dengan GAM tetap dilakukannya. Tidak ada seorang pun yang curiga dengan kegiatan politiknya. Dia tak banyak bicara dan karena itu keterlibatan dengan jaringan GAM tidak diketahui orang banyak.

Ketika aktif di GAM, dia sering bergabung dengan kelompok Hasbi Abdullah, adik kandung Zaini Abdullah, Meuntroe Keusehatan (menteri kesehatan) GAM di Swedia. Hasbi Abdullah juga dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah.

Pada tahun 1990 setelah tertangkapnya Hasbi Abdullah, Musally hijrah ke Medan. Aktivitasnya juga tidak terbaca oleh pihak intelijen Indonesia. Dengan membawa status mahasiswa, dia bisa menerobos pos pengamanan di Aceh. Di Medan, dia melanjutkan studi akhir kedokterannya di Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) dan memperoleh gelar dokter muda di UISU.

Setelah mendapatkan gelar dokter muda, dia kembali ke Aceh dan menjadi Pegawai Negeri Sipil alias PNS di Pidie. Sampai sejauh itu, keluarga, warga, maupun militer Indonesia belum mengetahui keterlibatannya di GAM.

Pertengahan tahun 1990, Musally mengakhiri masa lajangnya. Dia menikahi Aminah, gadis desa Garoet, Lueng Putu Kabupaten Pidie Jaya. Perkawinanya dengan Aminah dianugerahi tiga orang anak.


PADA 31 Agustus 1998, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Wiranto mencabut status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer atau DOM. Seluruh pasukan non organik di Aceh ditarik mundur.

GAM mencuat kepermukaan setelah pencabutan DOM. Tindak kekerasan yang pernah dilakukan pasukan TNI membuat banyak orang Aceh bersimpati pada GAM.

Ibarat jamur yang tumbuh di tengah musim hujan, jumlah keanggotaan GAM pasca-DOM menjadi berlipat-lipat. Ketika Aceh berstatus DOM, GAM hanya memiliki sekitar 200 anggota yang bersembunyi di hutan-hutan. Namun pasca-DOM, jumlah anggota GAM bertambah, sekitar sepuluh ribuan.

GAM melakukan aktivitasnya secara terbuka setelah penarikan pasukan non organik TNI. Melihat kondisi yang kembali mengancam keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesi atau NKRI, pemerintah Indonesia pun kembali melakukan operasi militernya, dengan nama “Operasi Wibawa” pada Januari 1999 sampai Mei 1999 dan “Operasi Sadar Rencong I serta “Operasi Sadar Rencong II” dari Bulan Mei 1999 sampai Mei 2000.

Kontak senjata GAM dengan TNI kembali terjadi. Warga di desa-desa mengungsi ke tempat yang mereka anggap aman. Masjid dan sekolah dijadikan titik pengungsian.

Melihat kondisi ini, perwakilan sepuluh organisasi mahasiswa Aceh pada tahun 1999 mendirikan Perhimpunan Relawan Kemanusiaan Aceh (PEMRAKA). Dan di tahun yang sama Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) juga terbentuk.

Musally bergabung dalam PEMRAKA. Dia menjadi tenaga medis di posko kesehatan pengungsian. Kegiatannya di PEMRAKA mengikuti suara hatinya untuk mengabdi kepada orang Aceh yang ditindas. PEMRAKA turut menyembunyikan keterlibatannya dengan GAM.

“Musally seorang aktivis yang aktif memperjuangkan suara demokrasi. Dia sosok yang mau berbagi pengalaman hidupnya selama aktivis,” ungkap Muhammad Daud, temannya sekaligus aktivis Pelajar Islam Indonesia.

Pada masa “Operasi Wibawa” dan “Operasi Sadar Rencong” para aktivis juga menjadi sasaran operasi. Para aktivis dianggap juga melakukan kegiatan makar. Musally menjadi salah satu target penangkapan. Namun dia kerap lolos.


“SAYA bukan penjahat, tapi dituduh sebagai penjahat. Tuhan dan hukum telah membuktikan saya tidak bersalah,” kata Musally saat disinggung soal kasus pemenjaraannya oleh pemerintah Indonesia.

Dalam persidangan, dia dituduh telah menyimpan, penyalahgunaan senjata api, bahan peledak dan melakukan tindakan makar terhadap pemerintah.

“Waktu persidangan pun pihak kejaksaan berusaha mencari bukti-bukti keterlibatan saya dengan GAM,” kisahnya.

Jalannya waktu persidangan berlangsung hingga dua tahun. Dia dituntut 20 tahun penjara, lalu akhirnya turun jadi dua tahun.

“Merasa kurang puas putusan sidang, pihak kejaksaan membuat banding. Dan saya tetap memenangkan dua tahun. Merasa kurang puas juga kejaksaan melakukan kasasi (peninjauan kembali) terhadap saya selama dua tahun,” ujarnya.

Karena tidak ada yang menjamin, pada 11 Mei 2001, Musally terpaksa menginap di kamar penampungan blok A dengan pondasi jeruji besi. Tempat itu adalah Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta.

“Keras, itulah kehidupan di penjara. Makan nasi cadong (nasi dibungkus daun pisang) tiap hari lagi,” keluhnya.

Di dalam penjara, ada sebuah rumah sakit khusus para tahanan. Kepala rumah sakit dijabat oleh Dokter Ilham. Rupanya kepala rumah sakit mengetahui Musally adalah lulusan kedokteran. Dokter Ilham meminta Musally menjadi dokter jaga di rumah sakit itu. Tawaran itu diterima Musally. Hari-harinya lebih berwarna.

“Di dalam LP saya bebas berkeliaran. Bedanya, ruang geraknya dibatasi tembok. Jadi merasa diri bukan penghuni penjara. Pagi masuk dinas, malamnya kembali lagi ke blok A,” katanya.

Namun kesedihan tetap menghampirinya. Terutama menjelang lebaran. Musally teringat istri dan anak-anaknya. Saat itu Aminah, istrinya, tinggal bersama kedua orangtuanya di Pidie Jaya.

“Bapak (Musally) orangnya terlalu sosial, sampai-sampai waktu bersama keluarga terlewatkan. Tapi kasih sayang untuk anak-anaknya begitu besar,” kisah Aminah tentang suaminya.

Pada 11 Mei 2003, batas waktu kasasi yang diajukan pihak kejaksaan kepada Musally telah jatuh tempo. Belakangan, pengadilan akhirnya memutuskan Musally tidak terbukti bersalah.

Musally menganggap Ernesto “Che” Guevara, bapak revolusi Kuba, sebagai gurunya. Dia mengetahui taktik bergerilya dari buku riwayat hidup Che. Kebetulan Che juga seorang dokter.

Suatu hari dia dipindahkan ke Seunebok, Lhokseumawe, Aceh Utara demi keselamatannya.

“Dan setelah itu berangkat ke Jakarta meninggalkan istri dan anak-anak. Status saya Pegawaian Negeri non aktif,” lanjutnya.

Di Jakarta dia bergabung dengan para aktivis Aceh lainnya. Salah seorang sahabatnya adalah almarhumah Cut Nur Asikin. Perempuan ini memimpin Srikandi Aceh, sebuah lembaga swadaya masyarakat, dan menjadi juru runding GAM pada Cessation of Hostilities Agreement (CoHa) pada Desember 2002 silam. Cut Nur meninggal di penjara Lhok Nga, ketika tsunami melanda Aceh pada Desember 2004 lalu.

Kini Musally punya klinik kesehatan dan bersalin. Namanya Atjeh Medical Center. Klinik ini berada di Desa Poroh Pangwa, Trieng Gadeng, Pidie Jaya. Desa ini jaraknya satu kilometer dari dari kota kecamatan Trieng Gadeng.

Sejumlah warga mengaku amat terbantu dengan adanya klinik Musally.

“Tidak perlu jauh-jauh membeli kebutuhan obat,” ujar Basri. Dia berjualan mie Aceh di seberang klinik.

Selain mengabdi sebagai dokter, Musally masih punya harapan tinggi. Dia berharap pemerintah Indonesia memberikan kesempatan kepada orang Aceh untuk mengurus diri mereka sendiri.

Namun, kata dia, yang tak kalah penting baginya kini, “Saya kembali kepangkuan Ibu Pertiwi, mengabdi untuk masyarakat.”

Friday, March 7, 2008

Tapol Aceh dan Kriminalitas

Sumberpost/IX/Februari-Maret 2008

MOMERANDUM (tahanan politik) dan Napol (narapidana politik) Aceh yang masih mendekam di dalam of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 lalu, menyisakan inplimentasi yang belum dilaksanakan sesuai perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Salah satunya pembebasan Tapol penjara.

Dalam salah satu item MoU Helsinki pasal 3.1.2 tentang amnesti menyebutkan “Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan nota kesepahaman ini.”

Pemerintahan Republik Indonesia telah memberikan amnesti kepada 1.488 mantan tapol dan napol GAM yang ada di Lembaga pemasyarakatan (LP) di seluruh indonesia, serta memberikan remisi kepada 366 mantan tapol dan napol yang ada di LP di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Namun, sampai saat ini masih ada 7 Tapol dan Napol yang belum dibebaskan dari proses hukum dan mendekam di sejumlah Lembaga pemasyarakatan (LP) Sumatera dan Jawa karena dindikasi terkait tindakan kriminal.

Ketujuh Tapol dan Napol yang belum di bebaskan yakni, Tgk. Ismuhadi Jafar, tahanan seumur hidup di LP kelas I Cipinang Jakarta, Irwan Bin Ilyas, di vonis seumur hidup di LP kelas II Cipinang Jakarta, Ibrahim Hasan, vonis seumur hidup di LP kelas II Cipinang Jakarta, Dinam Subardinan, di vonis 15 tahun di LP Sukamiskin Bandung, Hamdani alias Dek Gam di vonis 9 tahun di LP Tanjung Gusta Medan, Zul Ramli di vonis 9 tahun di LP Tanjung Gusta Medan.

Sementara Saifan Nurdin, di vonis 11 tahun di LP kelas I Cipinang Jakarta, Iwan Setiawan alias Husen, di vonis 13 tahun di LP Pasuruan Semarang, M. Udin, di vonis 11 tahun di LP Pasuruan Semarang, Muhammad Nur, di vonis 12 tahun di LP Sukamiskin Bandung, serta Mahyeddin M. Adam di vonis 17 tahun di LP Jantho Aceh Besar telah dibebaskan bersyarat pada awal September 2007 dengan status wajib lapor.

Kriminalitas Dan Wilayah Hukum

M. Zulhaq, M.Si yang menjabat Kepala Divisi Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM Propinsi NAD saat di kunjungi wartawan sumberpost menjelaskan menanggapi bahwa pembebasan pertama telah dilukan pada 30 Agustus 2005, dan selanjutnya dilakukan kembali lima kali pembebasan susulan, terakhir bulan November 2006.

Masih menurut M. Zulhaq mengutip arahan Mentri Hukum dan Ham (Menkumham) Republik Indonesia Andi Mattalata bahwa, semenjak pembebasan terakhir bulan november 2006, tidak ada lagi pembasan yang menyangkut dengan tapol dan napol yang belum dibebaskan. Dalam artian kesemua tapol dan napol yang terjerat dengan kasus makar GAM telah dibebaskan..

Ketika disinggung masih ada tapol dan napol yang terlibat GAM yang belum di bebaskan setelah MoU dan semenjak pembebasan terakhir november 2006, kepala divisi permasyarakatan ini mengatakan, hingga kini masih ada tuntutan dari pihak GAM menyangkut permasalahan pembebasan, dan mengenai permasalahan ini telah di tindak lanjuti dan di proses ke Menkumham. Selain itu DPR Aceh dan LSM juga menuntut hal yang sama.

“Pemberian amnesti mengenai makar telah di atur oleh kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 106 sampai dengan pasal 110. Sementara itu mereka (tahanan-red) terjerat diluar pasal tersebut. Pemerintah menyatakan mereka terjerat kasus kriminal dengan tindakan bersenjata di luar wilayah hukum Provinsi NAD. Tindakan makar di luar Aceh di golongkan tindakan kriminal, dan tidak mendapatkan amnesti yang berhubungan dengan kasus makar,” tegasnya.

Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM NAD, pelaksana perpanjangan tangan dari Menkumhan di pusat, Kanwil Hukum Dan HAM NAD menyampaikan aspirasi masyarakat ke pusat. Dan keputusan di pusat kita laksanakan menurut prosedur yang telah di tentukan (Menhukumham-red), tambah M. Zulhaq.

“Kanwil Hukum Dan HAM NAD tidak ada harapan apa-apa, kami mengikuti prosedur, kalau mereka diputuskan oleh pemerintah bebas, maka kami harus bebaskan. Dan sebenarnya mereka berada di wilayah luar hukum NAD, di Medan (Sumatra Utara) dan sebahagian Pulau Jawa. Jadi kami tidak bisa terlalu menginterpensi pembebasan tapol dan napol tersebut,” Katanya.

Tapol dan Napol sesuai dengan MoU dan keputusan Presiaden

Sekretaris komisi A DPR Aceh Drs. Bahrom M. Rasyid menilai permasalahan tapol dan napol merupakan permasalahan yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

“Kembali kepada MoU Helsinki, 15 hari setelah perjanjian damai masalah tapol dan napol mendapat amnesti dari pemerintah,” tuturnya.

Komisi A juga menerima laporan dan surat dari masyarakat yang mengatas namakan Forum untuk Keadilan Tapol/Napol Aceh yang menyebutkan masih ada Tapol/Napol GAM yang belum dibebaskan oleh pemerintah Indonesia

“Setelah kita melakukan peninjauan langsung ke Lembaga Kemasyarakatan yang ada di Sukamiskin, Cipinang, pasuruan dan Tanjung Gusta, serta berbicara langsung dengan para tahanan dan penjaga penjara mengakui mereka semua terlibat GAM, walaupun dikaitkan dengan tindakan kasus kriminal,” ungkap Bahrom M. Rasyid

Ketika dikaitkan tentang kasus kriminal baik peledakan Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan kasus narkotika yang di jatuhkan bagi para tapol dan napol sehingga tidak mendapatkan remisi, Bahrom M. Rasyid mengatakan, sampai saat ini DPR Aceh belum menerima petikan-petikan keputusan pengadilan, serta sudah minta datanya kepada pihak yang berwenang mengenai keputusan pengadilan untuk dapat mempelajarinya. Apakah nantinya mereka tahanan politik atau bukan.

“Kita belum melihat fonis hukumnya, apakah betul-betul fonis menurut keadilan ataupun karena tekanan politik,” Tambahnya kembali

Sekretaris komisi A DPR Aceh ini kembali mengharapkan Pemerintah segera menyelesaikan permasalahan tersebut, dan jika benar mereka terkait kasus makar dan bukan kriminal, pemerintah diminta untuk segera membebaskan tapol/napol sesuai MoU Helsinki..

“Kita mengharapkan para tahanan agar segera dibebaskan merujuk pada MoU, dan pemerintah harus lebih bersikap transparan mengenai permasalahan tapol dan napol,” ujarnya.

KPA dan kontras

Komisi Peralihan Aceh (KPA) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh juga turut berpartisipasi menyangkut permasalahn tapol dan napol GAM.

Tgk. Ibrahim KBS yang menjabat juru bicara KPA mengatakan, Sekarang pihaknya berbicara bukan atas dasar indentik mengurus GAM, Namun kembali kepada isi perjanjian damai Aceh, dimana semua pihak berperan dalam masalah pembebasan tapol dan napol karena merupakan tanggung jawab moral kita bersama.

“Mungkin permasalahan pembe-basan tapol dan napol Aceh, ada kesilapan teknisi sehingga mereka di tuduh sebagai teroris, dikenakan pasal-pasal darurat menyangkut dengan tindakan kriminal, dan itu terlepas di luar kapasitas GAM, sementara menurut BAP (Berita Acara Pemeriksaan) mereka terkait dengan GAM,” ungkapnya.

Hal yang sama juga disampaikan Koordinator Kontras Aceh, Asiah Uzia, Kontras tidak bisa berhenti pada putusan kriminal, karena tapol dan napol Aceh terlibat dengan GAM, ini bisa kita lihat di BAP mereka seperti yang terlihat pada BAP Tgk. Ismuhadi yang yang terlibat kasus peledakan BEJ dan di dalam disebutkan jika dia bahwa anggota GAM.

“Permasalahan tapol dan napol mesti kembali ke MoU dan mereka harus dibebaskan tanpa syarat, serta kepada semua pihak berserius menangani permasalahan ini dan termasuk CMI melalui AMM yang pernah memfasilitasi perjajanjian damai Aceh.” Harap Asiah Uzia

Pemerintah Diminta Serius

Pemerintah Provinsi Nangggroe Aceh Darussalam (NAD) diminta lebih serius menangani pembebasan tapol/napol Aceh yang hingga kini masih mendekam di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Pulau Jawa dan Sumatera Utara.

“Kami harap Pemerintah Aceh serius menangani permasalahan tapol/napol Aceh yang kini mendekam dibeberapa LP di luar Aceh untuk segara di bebaskan,” ungkap salah seorang napol Aceh, Zul Ramli.

Zul Ramli yang kini mendekam di LP Tanjung Gusta, Sumatera Utara mengatakan kondisi napol Aceh di LP luar Aceh saat ini sangat menyedihkan dan selalu menjadi sasaran kekerasan ketika ada narapidana lain yang berbuat kesalahan.

“Jika hal seperti ini terus dibiarkan, maka satu persatu diantara kami akan menjadi korban kekerasan, seperti yang terjadi beberapa hari lalu di Rutan Tanjung Gusta, narapiana lain yang melakukan kesalahan dengan mencoba kabur, tapi napi asal Aceh yang disiksa habis-habisan,” ujarnya.

Menurut dia, yang kini diharapkan para napol Aceh di sejumlah LP di Luar Aceh lebih kepada pemulangan ke daerah terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan dan jalur hukum lebih lanjut.

“Pemerintah Aceh semestinya segera turun tangan memulangkan kami ke Aceh, karena selama ini kami melihat keberadaan kami mulai terabaikan,” ujarnya.

Zul Ramli menambahkan, dalam persidangan mereka tidak pernah didakwa sebagai pelaku kriminal, namun dia menyayangkan jika kini tapol/napol tersebut dituduh melakukan perbuatan kriminal.

“Dulu dalam Berita Acara Pidana (BAP), saya digugat karena melakukan perbuatan yang mengancam keutuhan negara dengan melakukan pem-berontakkan terhadap pemerintahan yang sah dan dituntut dengan undang-undang darurat, kenapa sekarang malah dianggap melakukan tindakan kriminal,” jelasnya.




Memantikan Anak Jalanan

LintasNol edisi I/ 26 Sep-10 Okt/ Tahun 1/ 2007

Usaha pemerintah untuk membangun kembali sektor pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) seakan belum mencapai target memuaskan.. Hal ini seakan luput dari perhatian pemerintah. Banyaknya anak jalanan, membuktikan lemahnya perhatian lembaga pemerintahan dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di Aceh. Sehingga mereka lebih memilih jalan hidup sendiri dengan berkeliaran di jalanan untuk menggais rezeki.

Menurut catatan Dinas Sosial Propinsi Naggroe AcehDarussalam, di tahun 2004 jumlah anak terlantar mencapai 5000 jiwa. Hal itu disebabkan berbagai faktor, antara lain kehilangan orang tua atau terpisah dengan kelurga, atau bahkan ada pula yang trauma karena kekerasan. Ribuan anak terlantar ini berada dalam situasi stres, trauma fisik dan mental. Banyak di antaranya yang tidak dapat mengikuti pendidikan di berbagai sekolah di Aceh.

Dinas Sosial yang berperan aktif mengatasi permasalahan anak terlantar dalam hal ini berupaya agar anak jalanan yang masih usia sekolah, bisa melanjutkan pendidikan sesuai dengan tingkat jenjang pendidikannya. “Walaupun kemampuan Dinas Sosial terbatas, namun kami berupaya semaksimal mungkin untuk mendata anak-anak jalanan. Ini sebagai upaya untuk menampung anak jalanan di perpantian dengan memberikan pelayanan kesehatan, ekonomi dan pendidikan, baik formal maupun nonfolmal,” ungkap Ilyas, wakil Dinas Sosial NAD.

Ilyas menambahkan, meningkatnya jumlah anak jalanan di Kota Banda Aceh pasca tsunami, diperparah dengan kondisi sosial ekonomi yang masih tertinggal di tingkat pedesaan. Sehingga mereka (anak jalanan-red) terpaksa menadahkan tangan untuk memenuhi kehidupan ekonomi.

Namun pada saat disinggung tentang masih adanya anak-anak jalanan yang tidak terdata oleh Dinas Sosial, sehingga mereka tidak mendapat sarana pendidikan yang layak dari pemerintah. Wakil Kepala Dinas Sosial berkilah, bahwa selama ini pihaknya telah melakukan razia terhadap anak jalanan untuk dipantikan. “Sebenarnya permasalahan demikian ada pada anak jalanan itu sendiri. Pihak Dinas Sosial bekerja sama dengan Dinas Perkotaan, pernah melakukan razia terhadap anak-anak jalanan. Dengan maksud anak jalanan yang terjaring dalam razia akan dipantikan agar mendapat pendidikan yang layak. Namun mereka terkesan menghindar pada saat dilakukan razia,” tegasnya.

Dalam perundang-undangan Negara Republik Indonesia disebutkan, “anak jalanan dan fakir miskin dipelihara oleh Negara.” Hal ini seba-gaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 34 ayat 1 tentang perlindungan anak.

Serta dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002, pasal 9 ayat 1 juga disebutkan tentang hak dan kewajiban anak. “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”

Dan ayat 2 “khusus bagi anak yang penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa. Sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapat pendidikan khusus.

Untuk menjaga dan menjalankan peraturan yang telah diamanatkan sesuai dengan UUD 1945 dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindunagn anak, maka Negara dan pemerintah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan amanat UU ini membentuk sebuah Lembaga Negara yakni Dinas Sosial (Dinsos).

Sementara itu, Ketua penanganan masalah anak jalanan Dinas Sosial NAD, Mahdani mengemukakan, anak jalanan yang tidak mau di pantikan mereka hanya diberikan melakukan kerja sama dengan Japan International Cooperatiaon Syestems (JICS) untuk mendirikan rumah sejahtera anak jalanan,” ungkapnya.***(bantuan berupa perlengkapan sekolah. Pihak Dinas Sosial bekerjasama dengan pusat kajian perlindungan anak, yayasan anak bangsa serta International Labour Organization (ILO) telah melakukan pendataan anak-anak jalanan di seluruh Aceh, untuk memastikan apakah mereka yang menerima bantuan ini benarbenar melanjutkan sekolah apa tidak.

Mahdani menambahkan, Dinas Sosial melakukan berbagai upaya untuk menangani masalah anak jalanan. “Kami telah berusaha semampu kami. Selain itu, kami juga melakukan kerja sama Japan Internasional Cooperatiaon Syestems (JICS) untuk mendirikan rumah sejahtera anak ” ungkapnya.